Bisnis.com, JAKARTA -- Perekonomian Indonesia dan sejumlah negara berkembang lainnya kini tengah memasuki kondisi new normal yang harus diwaspadai baik oleh pemerintah maupun investor.
Kondisi ini disebabkan berbagai faktor eksternal seperti berakhirnya era suku bunga rendah, peningkatan harga energi, penguatan dolar AS, perlambatan ekonomi China, serta perang dagang AS-China.
Direktur Strategi dan Kepala Makro Ekonomi PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menilai pasar sebenarnya telah mengantisipasi kenaikan suku bunga bank sentral AS sejalan dengan peningkatan inflasi dan penurunan tingkat pengangguran. Berbagai indikator bisnis di Negeri Paman Sam juga menunjukkan performa yang lebih baik sehingga mendorong penguatan dolar AS.
Sementara itu, bank sentral Eropa diprediksi akan menghentikan operasi pelonggaran likuiditas mulai Desember 2018 dan mulai menaikkan suku bunga pada musim panas 2019.
Harga minyak pun mengalami kenaikan karena adanya pembatasan produksi oleh OPEC dan pengenaan sanksi atas Iran oleh AS.
"Kombinasi eksternal suku bunga tinggi, penguatan dolar AS, dan peningkatan harga energi ini cenderung negatif bagi negara berkembang yang banyak berutang valas dan mengimpor energi minyak. Kondisi seperti ini yang melandasi kejatuhan nilai tukar di negara seperti Brazil," ungkapnya dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Selasa (10/7/2018).
Di sisi lain, China melonggarkan likuiditas dan melemahkan yuan. Strategi ini membuat sebagian besar mata uang negara berkembang terus melemah.
Menurut Budi, berbagai faktor tersebut membayangi berbagai upaya penguatan fundamental ekonomi Indonesia. Terkait daya beli, dia memproyeksi ada permintaan uang yang melebihi ekspektasi Bank Indonesia (BI) menjelang Idulfitri.
Selain melalui Tunjangan Hari Raya (THR) bagi PNS dan pensiunan, stimulus pemerintah yang berlanjut pada Juli 2018 dalam bentuk gaji ke-13 diharapkan mampu mendorong daya beli.
Langkah BI menaikkan suku bunga 7-Day Reverse Repo Rate (7DRRR) menjadi 5,25% dan relaksasi Loan-to-Value (LTV) dipandang sebagai bentuk upaya stabilisasi sembari tetap mendukung pertumbuhan ekonomi.
Bahana TCW menyatakan stabilisasi nilai tukar dan obligasi negara sangat penting untuk menekan biaya menerbitkan surat utang luar negeri yang masih dibutuhkan untuk memacu pemulihan ekonomi.
Budi melanjutkan para investor mesti menurunkan ekspektasi investasi untuk menghadapi ketidakpastian dan volatilitas di pasar finansial.
"Investor sebaiknya menurukan ekspektasi imbal karena volatilitas pasar yang tak menentu. Pasar obligasi akan lebih menantang sebab valuasinya secara eksternal terakit angka akhir yield T-bond. Sementara itu, potensi kenaikan pasar saham terkait dengan rotasi sektoral yang lebih diuntungkan oleh penguatan dolar AS, kenaikan harga minyak, dan penguatan kualitas infrastruktur serta penguatan daya beli masyarakat," paparnya.
Budi memandang pasar obligasi masih tertekan dengan aksi jual investor asing sebagai efek membaiknya perekonomian AS dan penguatan dolar AS terhadap mata uang negara berkembang, termasuk Indonesia. Dia menyebutkan arus modal asing yang keluar dari pasar obligasi mencapai sekitar US$600 juta untuk pertama kalinya dalam delapan tahun terakhir.
Tahun lalu, pasar obligasi masih mengalami capital inflow sebesar US$12,5 miliar.
Meski demikian, investor lokal dapat mengambil kesempatan untuk berinvestasi di pasar obligasi karena imbal hasil yang semakin tinggi berarti semakin menarik.
Budi menerangkan jika yield SUN tenor 10 tahun menjadi 8% per tahun, maka setiap tahun investor akan memperoleh imbal hasil sebesar 8% dalam setahun. Angka ini dinilai menarik bagi investor domestik mengingat kecil kemungkinan inflasi per tahun selama 10 tahun ke depan lebih dari 8,5%.
Sementara itu, menurunnya partisipasi investor asing di pasar modal Indonesia disebut sebagai dampak rebalancing stock pada indeks MSCI. Alokasi untuk emiten Indonesia diturunkan untuk mengantisipasi masukkannya emiten dari China.
"Memang ini tantangan bagi pemerintah, mengingat bursa China menawarkan growth selain likuiditas. Itu sebabnya pemerintah harus memacu pertumbuhan. Bila ini berhasil, maka ini merupakan peluang bagi investor domestik memanfaatkan valuasi yang lebih murah," jelasnya.