Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak mentah dunia mulai bergerak melemah, setelah mencapai level tertinggi dalam setahun terakhir.
Harga minyak bergerak ke atas US$70 barel untuk WTI sejak Senin (7/5/2018).
Pada pk. 09.39 WIB, harga minyak WTI melemah 0,03% ke US$71,29 per barel.
Sementara itu pada pk. 09.37, minyak Brent melemah 0,13% ke US$ 77,37 per barel.
Sebelumnya Direktur Utama PT Garuda Berjangka Ibrahim meyakini harga minyak mentah dunia hanya akan bergerak di kisaran US$64,5 hingga US$72, dan tidak akan menembus US$100 per barel.
“Dalam bulan ini akan kembali ke US64,5. Efek geopolitik tidak panjang. Stok minyak banyak,” kata Ibrahim kepada Bisnis.com.
Sementara itu, Ibrahim mengemukakan AS saat ini menjadi salah satu eksportir minyak terbesar dunia, membayangi Rusia dan Arab Saudi.
Saat ini ujarnya, produksi minyak AS berada di antara Rusia (sekitar 10 juta barel per hari), dan Arab Saudi dengan 9 juta berel per hari.
“Amerika akan terus mengalami peningatan dalam produksi (minyaknya). As membutuhkan cash money cukup besar. Amerika telah melakukan banyak pembangunan infrastruktur dan anggaran militernya naik tiga kali lipat,” kata Ibrahim.
Kebutuhan anggaran yang membengkak tersebut tambahnya bisa diperoleh dari ekspor minyak dari negara tersebut.
“AS punya kilang minyak terbesar dunia. Dulu importir sekarang jadi eksportir,” kata Ibrahim.
Seperti diketahui, harga minyak pada hari Jumat menembus level US$ 71 per barel, dibayangi sanksi AS terhadap produsen minyak utama dan anggota OPEC Iran, seperti dikutip Reuters, Jumat (11/5/2018).
Amerika Serikat berencana untuk mengenakan kembali sanksi terhadap Iran, yang memproduksi sekitar 4% dari pasokan minyak global, setelah Negara Paman Sam meninggalkan kesepakatan nuklir Iran pada akhir 2015.
Sanksi datang di tengah permintaan pasar minyak yangmeningkat, terutama di Asia. Sementara eksportir utama Arab Saudi dan produsen utama Rusia telah memimpin pasokan sejak kebutuhan minyak di dunia sejak 2017.
Sebelumnya, sejumlah analis memperkirakan harga minyak akan naik ke US$80-US$ 100 per barel pada akhir tahun ini, setelah sanksi AS mulai diterapkan yang menghambat ekspor Iran.