Bisnis.com, JAKARTA – Harga bijih besi dalam jangka pendek bergerak menguat kendati diperkirakan ke depan akan mengalami tekanan akibat pasokan yang tumbuh tidak diimbangi dengan permintaan yang kuat.
Pada perdagangan Selasa (24/4) pukul 13.20 WIB, harga bijih besi kontrak teraktif September 2018 di bursa Dalian Commodity Exchange menguat 1,10 poin atau 1,48% menjadi US$75,74 per ton, naik 5 sesi berturut—turut.
Komoditas bahan baku baja tersebut telah kembali pulih setelah mengalami kejatuhan 18% pada periode Maret 2018. Secara year-to-date (ytd), harga melemah 10,41%.
“Dalam jangka pendek, harga bijih besi masih rebound karena meningkatnya marjin di pabrik baja,” papar Huatai Futures dalam sebuah catatan, seperti dilansir dari Bloomberg, Selasa (24/4/2018).
Dengan didukung oleh margin yang kuat, pabrik telah melakukan restocking bijih besi bermutu tinggi sehingga berperan dalam mendorong harga untuk naik.
Kendati demikian, bijih besi diperkirakan masih condong melemah seiring dengan adanya perkiraan pasokan yang akan mengalami peningkatan di tengah permintaan yang terbatas.
“Pasokan masih lebih dari permintaan dan stok masih tinggi,” jelasnya.
Hal ini sesuai dengan catatan terbaru Fortesque Metal Group Ltd, eksportir bijih besi terbesar keempat di dunia asal Australia. Fortesque melaporkan pengiriman menyusut di tengah cuaca buruk dan biaya produksi meningkat.
“Pengiriman turun 2% menjadi 38,7 juta ton di 3 bulan hingga 31 Maret dari 39,6 juta ton pada periode yang sama pada tahun lalu,” papar Fortesque dalam laporannya pada Selasa (24/4), seperti dilansir dari Bloomberg. Angka ini sejalan dengan perkiraan analis yang disurvei oleh Bloomberg.
Biaya produksi saat ini diperkirakan menjadi US$12—US$12,5 per ton dalam setahun hingga 30 Juni, lebih tinggi dari prediksi sebelumnya sebesar US$11–US$12 per ton di tengah harga bahan bakar yang lebih tinggi dan tarif yang kurang menguntungkan.
Sementara pada kuartal ini diperkirakan biaya produksi kemungkinan naik 9% dari 3 bulan sebelumnya menjadi US$13,14 per ton.
“Pemasok utama tidak cukup yakin adanya pengiriman tambahan ke China seiring dengan output baja yang tetap datar,” kata Chief Executive Officer Fortesque Elizabenth Gaines
Menurut Gaines, kenaikan permintaan baja China setelah Tahun Baru Imlek lebih lambat dari yang diekspektasikan seiring dengan pembatasan pabrik dan operasi baru—baru ini.
Pasar bijih besi seaborne telah bergeser selama 2 tahun terakhir karena pabrik—pabrik China lebih memilih kargo bijih besi berkualitas tinggi yang lebih efisien dan tidak menyebabkan pencemaran udara.
Adapun, menurut Pemerintah Australia dalam laporan triwulan terbarunya, di samping menaikkan perkiraan harga bahan baku baja dalam jangka pendek, Negeri Kanguru juga melihat prospek yang lebih suram berupa penurunan impor dari China di tengah produksi baja yang mereda pada beberapa tahun ke depan.
“Permintaan impor bijih besi diperkirakan akan terbebani oleh produksi baja di China yang akan turun setiap tahun hingga 2023,” papar Departemen Perindustrian, Inovasi, dan Sains Australia.
Paul Hissey, analis pasar modal RBC yang berbasis di Melbourne menuturkan, pemasok tetap berhati—hati dalam pemulihan realisasi harga dan keberlangsungan biaya serta mempertahankan persyaratan modal.