Bisnis.com, JAKARTA – Harga aluminium melanjutkan kenaikan drastisnya seiring dengan dorongan sentimen dari kekhawatiran pasar terhadap sanksi AS yang diberlakukan kepada perusahaan aluminium Rusia United Co. Rusal.
Pada penutupan perdagangan Rabu (18/4/2018), harga aluminium di London Metal Exchange (LME) melambung 132 poin atau 5,49% menjadi US$2.537 per ton, kenaikan 3 sesi berturut—turut.
Angka ini lebih tinggi hingga 30% sejak penutupan 5 April lalu, sehari sebelum sanksi AS terhadap Rusia diumumkan sekaligus merupakan level tertinggi sejak 2011. Secara year-to-date (ytd), harga telah tumbuh 11,86%.
Selama 2 pekan terakhir, pasar logam memang tengah mengalami guncangan akibat tindakan keras AS melawan Rusia, termasuk produsen aluminium terbesar di luar China United Co. Rusal yang berkontribusi 6% terhadap produksi global dan sekitar 17% di luar China.
Alcoa Corp, perusahaan produsen aluminium asal AS meramalkan defisit pada pasar komoditas logam tersebut di tengah adanya pembatasan produksi.
“Saya pikir cerita Rusal masih berkelanjutan,” kata Roy Harvey, CEO Alcoa Corp, seperti dilansir dari Bloomberg, Kamis (19/4/2018).
Baca Juga
Tindakan ini telah memicu perebutan persediaan alternatif dan mendorong kehawatiran lebih lanjut yang dapat melibatkan bahan mentah lainnya seperti nikel.
Seiring dengan kondisi tersebut, Goldman Sachs Group Inc. pada Rabu (18/4) memproyeksikan reli aluminium yang terjadi saat ini akan mengantarkan harga menuju level US$3.000 per ton.
“Respons terhadap aluminium sangat logis karena pasar perlahan memahami sejauh mana Rusal menembus industri aluminium,” ujar Mark Keenan, kepala riset komoditas di Societe Generale SA.
Di sisi lain, analis MorganStanley Susan Bates menuturkan bahwa Rusal berusaha menargetkan penjualan di pasar alternatif, seperti di Timur Tengah, Turki, dan China sebagai upaya atas kehilangan peluang ekspor ke pasar Barat.