Bisnis.com, JAKARTA – Perdagangan minyak dan emas dibuka melemah setelah serangan militer Amerika Serikat (AS) ke Suriah, namun ekuitas terlihat tidak terpengaruh selama Rusia tidak memberikan serangan balik.
Perdagangan spot emas dan sejumlah industri minyak mentah menurun sedikit demi sedikit, karena reaksi pasar atas serangan militer AS dalam beberapa minggu terakhir. Bahan mentah berharga lainnya juga melemah, sementara ekuitas menguat.
Pada perdagangan Senin (16/4) pukul 11.30 WIB diketahui harga minyak Brent pengiriman Juni 2018 melemah tipis 0,74 poin atau 1,02% menjadi US$71,8 per barel.
Adapun, harga minyak West Texas Intermediate (WTI) kontrak Mei 2018 turun 0,58 poin atau 0,86% menjadi US$66,81 per barel. Harga spot emas turun 0,39 poin atau 0,03% menjadi US$1.345 per troy ounce.
John Kilduff, mitra Again Capital Management di New York mengatakan, “ketakutan terbesar pasar minyak dari konflik ini adalah meluasnya konflik hingga melibatkan Iran dan Arab Saudi yang saat ini belum dan diharapkan tidak akan terjadi.”
Pada Sabtu (14/4/2018), rudal dari AS, Prancis, dan Inggris menyerang pusat program senjata kimia Suriah yang akan digunakan untuk serangan balasan atas korban serangan gas beracun pada pekan lalu.
Baca Juga
Meskipun demikian, serangan tersebut tidak menghentikan Presiden Suriah Bashar al-Assad untuk tetap melanjutkan perang yang sudah berlangsung selama tujuh tahun tersebut.
Naeem Aslam, kepala analis pasar di Think Markets, menyampaikan bahwa emas diperkirakan akan reli tipis pada Senin. Komoditas emas sering digunakan untuk mengembalikan nilai harga saat terjadi masalah politik dan ekonomi yang bisa reli hingga US$1.400 per troy ounce.
“Jika bisa naik hingga di atas US$1.365, pekan depan pasti akan bullish,” ujarnya, dikutip dari Reuters Senin (16/4/2018).
Sebelumnya, emas mendapatkan keuntungan dari sengketa perdagangan AS dan China dan perluasan konflik AS dengan Suriah beberapa hari terakhir ini sebagai aset safe-haven. Hal itu juga mendorong harga minyak menjadi di atas US$70 per barel karena khawatir ada lonjakan ketegangan dengan Timur Tengah.