Bisnis.com, JAKARTA - Peluncuran Indonesia Crude Palm Oil Indeks (ICPOI) dipandang sebagai tonggak awal untuk menjadikan indeks sebagai harga acuan nasional hingga internasional, kendati dinilai masih sulit untuk menjadi referensi global.
Ketua Bidang Otonomi Daerah Gapki Kacuk Sumarto mengatakan bahwa harga acuan ini bisa menjadi alternatif dari dua bursa sebelumnya yakni Rotterdam dan Malaysia.
"Istilah bersaing mungkin dikesampingkan dulu. Tetapi, jika akuntabilitasnya tinggi, maka akan bisa jadi rujukan secara alamiah,” kata Kacuk dalam peluncuran ICPOI, Kamis (12/4/2018).
Staf Ahli Bidang Perdagangan Jasa Kemendag Lasminingsih berpandangan, terobosan PT IKI menarik di tengah dinamika dan transformasi komoditas CPO. “Indonesia sudah saatnya punya kedaulatan. Membuat daya tawar sebagai price taker di tingkat pemasaran regional dan global,” papar Lasminingsih.
Menurutnya, CPO sangat prospektif dalam perdagangan komoditas ke depan. Dalam 10 tahun terakhir, telah ada peningkatan produksi hingga 54% dari 90,62 juta ton pada 2007 menjadi 197 juta ton di 2017.
CPO dinilai mampu menjawab peningkatan permintaan minyak nabati dunia sebagaimana data FAO yang menunjukkan bahwa permintaan komoditas itu pada 2050 akan mencapai 361 juta ton seiring dengan pertumbuhan populasi dunia.
“CPO bisa menjawab itu [permintaan CPO] karena produktivitas sawit tinggi, yaitu 4 ton per hektare, lebih tinggi sekitar 4—10 kali lipat dibandingkan dengan produksi minyak nabati lainnya,” lanjutnya.
Lasminisngsih menambahkan, CPO dan turunannya berperan penting dalam perekonomian Indonesia mengingat komoditas perkebunan tersebut merupakan salah satu dari komoditas unggulan Indonesia.
"CPO memiliki kontribusi sebanyak 14,9% dari ekspor nonmigas dan 13,5% dari total ekspor Indonesia," ujarnya.
Kendati demikian, ada tantangan yang perlu diperhatikan oleh pelaku industri dalam menetapkan teknik yang berkelanjutan ditengah isu pihak internasional, terutama Uni Eropa yang kerap menuding industri CPO Indonesia 'bukan produk yang berkelanjutan'.