Bisnis.com, JAKARTA – Minyak kelapa sawit atau crude palm oil sebagai komoditas substitusi dari kedelai berpotensi beruntung karena lonjakan perang dagang Amerika Serikat dan China telah merambah pada kedelai.
Sejumlah analis berpendapat bahwa rencana Pemerintah Xi Jinping untuk membalas bea impor pada kedelai AS memberi petunjuk bahwa pembeli beralih ke komoditas alternatif yakni CPO.
Kondisi tersebut dinilai dapat meningkatkan harga dari minyak nabati yang sebagian besar ditanam di Indonesia dan Malaysia tersebut.
“CPO yang merupakan pengganti kedelai mungkin akan mengalami peningkatan permintaan dari China karena lebih luas spread antara kedua minyak nabati akan membuat CPO lebih menarik,” kata Chong Hoe Leong, research analyst Public Investment Bank Bhd di Kuala Lumpur.
Senada, analis di Affin Hwang Investement Bank Bhd Nadia Aquidah mengatakan, perusahaan perkebunan CPO diuntungkan dari tarif yang diberlakukan karena dapat membantu meningkatkan permintaan dan mengangkat harga CPO.
Seperti diketahui, harga CPO biasanya akan terseret harga kedelai. Terpantau, harga kedelai pada perdagangan Kamis (5/4) pukul 15.20 WIB di Chicago Board of Trade (CBOT) naik 2,5 poin atau 0,25% menjadi US$1.017,75 sen per bushel. Sepanjang tahun, harga telah tumbuh 6,91%.
“Stok CPO di Indonesia dan Malaysia kemungkinan dapat turun jika tarif terus berjalan,” kata Nadia.
Indonesia dan Malaysia berkontribusi sekitar 84% dari pasokan global. Menurut survei Bloomberg yang dilakukan terhadap sejumlah pekebun, pedagang, dan analis, persediaan CPO pada periode Maret menjadi 2,28 juta ton, turun 8,1% dari bulan sebelumnya.
“Paling tidak akan ada kenaikan harga jangka pendek,” kata Nadia.
Analis CIMB Investment Bank Bhd Ivy Ng memproyeksikan, harga CPO pada April akan bergerak di kisaran 2.400 ringgit-2.600 ringgit per ton, sementara sepanjang 2018 diprediksi akan mencapai harga rata-rata di 2.700 ringgit per ton.