Bisnis.com, JAKARTA – Perang dagang antara Amerika Serikat dan China yang memanas akhir-akhir ini dinilai berefek samping ke berbagai lini, termasuk pasar kedelai lantaran China merupakan pembeli kedelai terbesar dari Paman Sam.
Harga kedelai di Chicago Board of Trade (CBOT) telah mengalami penurunan baru-baru ini. Pada penutupan Senin (26/3), harga kedelai kontrak teraktif Mei 2018 ditutup melemah menuju level US$1.025 sen per bushel.
Harga sempat mencapai level terendah dalam lebih dari 1 bulan di level US$1.022,50 pada 19 Maret. Kendati demikian, secara year -o-date (ytd), harga masih tercatat tumbuh lebih dari 8%.
Vice President Research Kotak Commodities Aurobinda Gayan menuturkan bahwa perang dagang antara AS dan China telah menyebabkan kekhawatiran pada ekspor kedelai. Hal itu dinilai dapat membebani harga kedelai di masa depan serta membuat petani AS tertekan.
“Diperkirakan, rentang pergerakan harga kedelai bergerak di kisaran 1.022-1.040 sen per bushel dalam jangka pendek,” kata Gayan dalam publikasi risetnya, Senin (26//2018).
China, pengimpor kedelai top dunia membeli 60% dari komoditas yang diperdagangkan di seluruh dunia untuk digunakan sebagai pakan ternak. China mengimpor sebagian besar dari AS serta Brasil.
Selama ini banyak lembaga mengekspetasikan bahwa impor kedelai China akan terus meningkat. USDA memperkirakan Tiongkok akan mengimpor sebanyak 100 juta ton kedelai pada musim 2018/2019.
Berdasarkan data Commodity Market Outlook (CMO), pada musim 2017/2018, China diperkirakan mengimpor kedelai sebanyak 95 juta ton, naik 2,6% dari musim sebelumnya sebesar 92,5 juta ton.
Artinya, dengan adanya kondisi perang dagang tersebut, proyeksi kenaikan impor kedelai China bisa saja tidak sesuai dengan harapan.