Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan rupiah semakin melemah hingga menembus level Rp13.800 per dolar AS, dipicu oleh rilis data tenaga kerja AS yang positif di samping tekanan yang terus berlanjut akibat ekspektasi kenaikan suku bunga sebanyak 4 kali pada tahun ini.
Pada penutupan Kamis (8/3), rupiah ditutup melemah 56 poin atau 0,41% menjadi Rp13.816 per dolar AS, jatuh dari penguatan pada sesi sebelumnya di level Rp13.760 per dolar AS. Tidak hanya rupiah, mata uang Asia dominan mengalami pelemahan.
Analis Monex Investindo Futures Putu Agus Pransuamitra menuturkan bahwa anjloknya rupiah hingga menembus level Rp13.800 per dolar AS dipicu oleh faktor positifnya data ketenagakerjaan AS yang dirilis pada Rabu (7/3).
Tercatat data ADP Non Farm periode Februari mengalami pertumbuhan sebesar 235.000. Angka tersebut lebih tinggi dari perkiraan pasar sebanyak 195.000. Laporan ini memberi ekspektasi bahwa data resmi nonfarm payroll (NFP) yang akan dirilis esok hari akan tumbuh solid juga.
Di samping itu, faktor kemungkinan perang dagang AS juga masih turut menekan pergerakan mata uang Garuda. Pasalnya, jika tarif impor terhadap 2 komoditas, yaitu baja dan aluminium diterapkan, maka akan berimbas pada Indonesia sebagai negara ekspor.
“Kemungkinan terjadinya perang dagang itu membuat rupiah mengalami tekanan karena Indonesia juga melakukan ekspor ke negara tersebut,” kata Putu ketika dihubungi Bisnis, Kamis (8/3/2018).
Baca Juga
Di samping itu, Putu menjelaskan bahwa faktor internal akibat tahun politik turut mendorong pelemahan rupiah karena kondisi ketidakpastian menyebabkan aliran dana bergerak dari dalam ke luar negeri di samping dolar AS yang juga merupakan aset safe haven.
“Kemungkinan memasuki tahun politik ini memicu ketidakpastian sehingga terjadi outflow,” ujar Putu. Dia memproyeksikan pada Jumat (9/3), rupiah bergerak di kisaran Rp13.750—Rp13.830 per dolar AS.