Bisnis.com, JAKARTA – Mata uang rupiah mengalami kemerosotan yang cukup tajam selama hampir 2 pekan terakhir ini hingga menembus Rp13.600 per dolar AS. Sejumlah pihak masih menganggap bahwa pelemahan itu adalah hal yang wajar dan normal.
Tercatat, mata uang rupiah pada penutupan perdagangan Jumat (9/2/2018) mengalami kemerosotan 23 poin atau 0,17% menjadi Rp13.628 per dolar AS. Angka ini adalah pelemahan 7 sesi berturut—turut. Secara year to date (ytd), rupiah melemah 0,54%.
Akhir pekan lalu, pihak Bank Indonesia (BI) mengatakan bahwa pihaknya mengambil langkah untuk menstabilkan rupiah dan akan terus memantau volatilitas pasar setelah mata uang Garuda merosot ke level terendah sejak Juni 2016.
Direktur Eksekutif Pengelolaan Moneter Bank Indonesia, Doddy Zulverdi menuturkan bahwa pelemahan rupiah saat ini dipandang sebagai respons terhadap aksi jual pasar global, namun fundamental ekonomi domestik masih positif untuk mendukung nilai tukar yang stabil.
The International Monetary Fund (IMF) menyatakan bahwa pertumbuhan ekonomi Indonesia bakal mencapai 5,3% pada 2018 dan inflasi tahunan diprediksi akan tetap sekitar 3,5%.
Sementara defisit neraca diperkirakan akan tetap mendekati 2% dari PDB dengan dorongan dari harga komoditas dan ekspor yang kuat.
Baca Juga
“Bank Indonesia mengharapkan rupiah untuk menguat setelah koreksi di pasar keuangan mereda,” katanya, seperti dikutip Bloomberg, Jumat (9/2/2018).
Sebelumnya, Deputi Gubernur Senior Bank Indonesia Mirza Adityaswara menuturkan, pelemahan rupiah merupakan bagian dari fluktuasi pasar dan suatu hal yang normal. Pasalnya, pasar tengah terdorong sentimen dari kenaikan suku bunga The Federal Reserve pada Maret mendatang.
Analis Central Capital Futures Wahyu T. Laksono mengatakan bahwa sedikit saja perbaikan sentimen dolar AS sudah sangat berefek bagi rupiah saat major currency belum terlalu bergerak.
“Rupiah relatif stabil dan bergerak dalam volatilitas yang sehat,” ujarnya.