Bisnis.com, JAKARTA – Harga minyak meningkat mendekati level tertinggi 2 tahun akibat berkurangnya output dari pengebor AS. Namun, diprediksi akan ada tekanan seiring dengan pasokan AS yang mendekati level produksi Rusia dan Arab Saudi.
Pada penutupan perdagangan Jumat (15/12/2017), harga minyak West Texas Intermediate (WTI) menguat 26 sen menjadi US$57,30 per barel di New York Merchantile Exchange.
Harga WTI meningkat mendekati level tertinggi US$59,05 per barel yang pernah dicapai pada 24 November 2017.
Sementara itu, harga minyak Brent turun 8% atau 0,1% menuju US$63,23 per barel di ICE Futures Europe yang berbasis di London.
Rally berlanjut hingga perdagangan Senin (18/12) dini hari. Pukul 09.48 WIB, minyak WTI naik 0,03 poin atau 0,05% menjadi US$57,33 per barel. Adapun minyak Brent menguat 0,04 poin atau 0,06% menuju US$63,27 per barel.
Analis Asia Trade Point Futures mengatakan kenaikan harga minyak mentah dunia terjadi akibat turunnya aktivitas pengeboran sumur minyak AS pada pekan sebelumnya.
Baca Juga
Menurut data yang dirilis Baker Hughes, jumlah sumur pengeboran minyak AS yang aktif menurun sebanyak 4 unit menjadi 747 unit.
“Ini menunjukkan penurunan untuk pertama kalinya dalam enam minggu,” kata ATPF dalam publikasi risetnya, Senin (18/12/2017).
Kendati naik, ATPF mengatakan bahwa kenaikan harga diperkirakan masih rawan terhadap tekanan seiring dengan naiknya produksi minyak AS pada tahun ini dan pada tahun depan.
Berdasarkan data International Energy Agency (IEA), pasokan AS saat ini mendekati level produsen minyak mentah papan atas, Rusia dan Arab Saudi.
“Hal itu menyebabkan kemungkinan pasar minyak akan mengalami surplus pasokan pada paruh pertama 2018,” kata IEA, seperti yang dilansir dari Reuters, Senin (18/12/2017).