Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Harga Bijih Besi Menguat 2017, Meski Trennya Turun

Kendati diperkirakan tumbuh dari tahun lalu, harga bijih besi pada 2017 berpotensi mengalami tren menurun akibat surplus pasokan. Pasalnya, melambungnya harga mendorong produsen memacu suplai baru.
Ilustrasi/Reuters
Ilustrasi/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA--Kendati diperkirakan tumbuh dari tahun lalu, harga bijih besi pada 2017 berpotensi mengalami tren menurun akibat surplus pasokan. Pasalnya, melambungnya harga mendorong produsen memacu suplai baru.

Pada penutupan perdagangan Selasa (7/2/2017) harga bijih besi untuk kontrak Mei 2017 di bursa Dalian naik 1,4% atau 8,5 poin menjadi 614,5 yuan (US$89,26) per ton. Ini menunjukkan peningkatan 10,82% sepanjang tahun berjalan.

Tahun lalu, harga tembaga melonjak 84,18% year on year (yoy) menjadi 652 yuan (US$93,95) per ton.

Lyndon Fagan dan Hugh Stackpool, analis JPMorgan Chase & Co., menyampaikan masih terjadinya pengetatan pasokan membuat rerata harga bijih besi menguat 25% pada 2017 menjadi US$73 per ton. Tahun lalu, rerata harga mencapai US$58,38 per ton berdasarkan perhitungan Bloomberg terhadap data Metal Bulletin Ltd.

Namun demikian, tingginya harga bahan baku baja itu dapat menggoda produsen untuk memacu suplai, baik penambang besar maupun pemain skala kecil. "Ada beberapa katalis yang menguatkan harga bijih besi dalam waktu dekat. Namun, tingginya harga menjadi menaikkan risiko produsen untuk memacu pasokan," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (7/2/2017).

Harga bijih besi melonjak pada tahun lalu karena dukungan stimulus terhadap produksi baja yang menaikkan sisi konsumsi. Negeri Panda menyerap sepertiga suplai bijih besi global dan memasok sekitar 50% baja di dunia, sehingga kinerjanya sangat berpengaruh terhadap pasar komoditas tersebut.

Fagan dan Stackpool memperkirakan, jumlah suprlus pasar bijih besi semakin bertumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Pada 2016, surplus suplai mencapai 17 juta ton, kemudian menuju 36 juta ton pada 2017, dan 71 juta ton pada 2018.

Dengan perkiraan semakin bertumbuhnya surplus, JP Morgan memandang tren harga pada tahun ini cenderung menurun, meskipun masih lebih baik dibandingkan 2016. Pada kuartal I/2017, rerata harga berada di level US$80 per ton, kemudian berturut-turut menurun menjadi US$75 per ton, US$71 per ton, dan US$66 per ton dalam setiap kuartalnya.

Indikasi membengkaknya pasokan mulai terlihat dari catatan persediaan dan tingkat ekspor. Menurut Shanghai Steelhome Information Technology Co., stok di pelabuhan China naik menjadi 123,5 juta ton pada pekan lalu. Pasalnya, pengiriman dari pelabuhan Hedland di Australia mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah.

Analis JP Morgan menambahkan, pasokan baru juga datang dari tambang Vale SA di Brasil, yang melakukan pengiriman perdananya pada pertengahan Januari 2017. Total pasokan bijih besi dari tambang tersebut dapat tumbuh 19,76% menjadi 412 juta ton pada 2018, dari volume 344 juta ton pada 2016.

"Saat ini, kondisi pengetatan suplai dan permintaan akan bertahan sampai paruh pertama 2017. Nantinya, harga bijih besi yang melampaui US$80 per ton mendorong sejumlah penambahan produksi," paparnya.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Rustam Agus
Sumber : bloomberg
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper