Bisnis.com, JAKARTA—Manajemen PT Budi Starch and Sweetener Tbk. memproyeksikan serapan belanja modal hingga akhir 2016 hanya di kisaran Rp165 miliar. Jumlah tersebut di bawah target awal yang mencapai Rp180 miliar.
Mawarti Wongso, Direktur Keuangan Budi Starch and Sweetener, mengatakan hingga kuartal III/2016 pihaknya telah merealisasikan belanja modal sekitar Rp140 miliar yang terserap untuk perawatan fasilitas produksi di 21 pabrik yang dimiliki perseroan serta akuisisi pabrik tapioka di Jawa Timur.
“Sebagian besar untuk maintenance fasilitas produksi di pabrik,” katanya belum lama ini.
Tahun ini alokasi belanja modal emiten industri dasar sub sektor kimia yang memproduksi sweetener dan tepung tapioka tersebut memang fokus pada optimalisasi alat produksi. Dengan demikian, perseroan bersandi saham BUDI itu berharap dapat merelaisasikan target penjualan yang dipatok pada 2016 sebesar Rp2,7 triliun dengan laba hingga Rp40 miliar.
Sebagai gambaran, pada tahun lalu pendapatan perseroan mencapai Rp2,37 triliun dengan laba bersih Rp19,6 miliar. Sementara itu, minilik kinerja keuangan perseroan sepanjang sembilan bulan di tahun ini, pendapatan mencapai Rp1,9 triliun naik sekitar 13,13% dari periode yang sama tahun lalu Rp1,68 triliun. Laba bersih perseroan pun naik pesat dari Rp15,2 miliar menjadi Rp30,1 miliar.
Adapun untuk tahun depan perseroan menganggakan belanja modal mencapai Rp200 miliar untuk keperluan ekspansi kapasitas pabrik dan perawatan alat produksi. Mawarti merinci dari total anggaran belanja modal tersebut Rp100 miliar akan digunakan untuk perawatan kapasitas produksi di semua pabrik yang dimiliki perseroan.
Saat ini perseroan memiliki empat pabrik sweetener, 15 pabrik tepung tapioka dan dua pabrik karung pelastik yang tersebar di 15 lokasi di Indonesia. Adapun sekitar Rp60 miliar akan digunakan untuk ekpansi pabrik maltodextrin yang berlokasi di Lampung sebesar 18.000 ton.
Sisanya, Rp40 miliar untuk ekspansi pabrik fruktosa yang berlokasi di Krian, Jawa Timur sebesar 36.000 ton. Maltodextrin dan fruktosa merupakan bahan baku dari sweetener.
“Ekspansi tersebut hanya penambahan di dua pabrik sweetener dan bukan pabrik baru,” ucapnya.
Menurutnya, anggaran belanja modal tersebut akan berasal dari kas internal perseroan dan pinjaman bank. Dia belum bisa memastikan persentase belanja modal dari bank maupun dari kas perseroan. Namun dia mengatakan jika sumber belanja modal harus dari pinjaman bank, persentasenya maksimal 70% dari total yang dianggarkan.
Di sisi lain, untuk mendongkrak kinerja hingga akhir tahun, pihaknya masih mengandalkan pasar domestik. Menurutnya, kebutuhan tepung tapioka dan sweetener di pasar lokal sangatlah tinggi. Sehingga selama ini ekpsor perseroan hanya ada di kisaran 2%, dan itu tidak akan berubah banyak hingga akhir tahun.
Saat ini pihaknya memiliki total kapasitas terpasang mencapai 825.000 ton untuk semua pabrik.
“Dan kami itu sudah bisa convert ke down stream yaitu produk sweetener. Jadi tidak melulu harus jual dalam bentuk tepung tapioka sehingga bisa disesuaikan dengan permintaan,” tuturnya.