Bisnis.com, JAKARTA - Kenaikan harga minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) yang dipicu oleh depresiasi nilai tukar ringgit Malaysia terhadap dolar AS diproyeksi berdampak positif terhadap kinerja emiten perkebunan di Indonesia.
Analis Daewoo Securities Andy Wibowo Gunawan menuturkan pada pekan lalu, mata uang greenback menguat terhadap seluruh mata uang di Asia Tenggara, termasuk ringgit Malaysia. Depresiasi mata uang di kawasan dipicu oleh ketidakpastian terhadap kebijakan ekonomi dan politik Presiden terpilih AS Donald Trump.
Berdasarkan data Bloomberg, ringgit Malaysia telah terkoreksi 3,84% sejak Selasa (8/11/2016) hingga penutupan perdagangan Senin (14/11/2016) ke level 0,2304 dolar AS/ ringgit Malaysia.
"Melemahnya nilai tukar ringgit Malaysia menjadi pendorong harga CPO," tulis Andy dalam keterangan tertulis, Selasa (15/11/2016).
Pelemahan ringgit, lanjutnya, mendorong kenaikan harga CPO ke level 2.974 ringgit Malaysia per ton yang merupakan level harga tertinggi sepanjang tahun berjalan (year-to-date).
Pada 2015, volume CPO Malaysia yang diekspor mencapai 85% dari total produksi. Faktor itulah yang menjadi penyebab utama mengapa harga CPO Malaysia punya korelasi yang bertolak belakang dengan pergerakan nilai tukar dolar AS terhadap ringgit.
"Perusahaan sawit di Indonesia menggunakan harga CPO Malaysia sebagai benchmark. Kami proyeksi ada kenaikan harga jual rata-rata (ASP) yang merupakan sinyal positif terhadap pendapatan emiten perkebunan di Indonesia.