Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

FUNDAMENTAL LEMAH: Harga Tembaga Masih Rapuh

Harga tembaga berisiko mengalami penurunan tajam karena kenaikan harga baru-baru ini tidak sepenuhnya ditopang fundamental yang kuat
Tembaga/Reuters
Tembaga/Reuters

Bisnis.com, JAKARTA- Harga tembaga berisiko mengalami penurunan tajam karena kenaikan harga baru-baru ini tidak sepenuhnya ditopang fundamental yang kuat

Pada perdagangan Selasa (29/3/2016) hingga pukul 16:06 WIB, harga tembaga untuk kontrak Mei 2016 terkoreksi 2,95 poin atau 1,31%.

Sementara itu, harga tembaga di LME kontrak Maret 2016 menghijau 0,04% menujum US$4.970 per ton pada penutupan perdagangan Kamis (24/3/2016).

Analis Barclays Plc Kevin Norrish menuturkan, harga tembaga berhasil naik mencapai US$4.945 per ton pada pekan lalu. Namun, logam tersebut masih berpeluang tergelincir di bawah US$4.000 per ton pada tahun ini.

Pada pertengahan Februari hingga Maret, tren tembaga terus menghijau karena terdorong sentimen perbaikan harga minyak.

Sepanjang tahun berjalan 2016, harga sudah meningkat sebanyak 29,25%. Namun, sambungnya, tembaga dan komoditas logam lainnya hanya menjadi investasi jangka pendek bagi sebagian besar investor. Penutupan harga pada kuartal I/2016 pun diperkirakan memerah.

“Komoditas kunci seperti minyak mentah dan tembaga sedang mengalami kelebihan kapasitas produksi, sehingga terkendala dalam pemulihan,” tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (29/3/2016).

Commodity Futures Trading Commission melansir kepemilikan tembaga bulan ini naik menjadi 27.862 kontrak dibandingkan pekan lalu yang berakhir 22 Maret sejumlah 23.011 kontrak.

Barclays memprediksi harga tembaga pada kuartal II/2016 menuju posisi US$4.520 per ton, kuartal III/2016 senilai US$4.300 ton, dan triwulan terakhir merosot ke US$4.180 per ton.

Pekan lalu, harga tembaga dan sejumlah logam industri lainnya menanjak. Jia Zheng, Chief Metals Analyst East Asia Futures Co., mengatakan dari segi permintaan ada dua faktor yang memengaruhi kenaikan harga logam, yakni pertumbuhan penjualan rumah di AS dan penyerapan China yang sedang dalam masa puncak.

Amerika Serikat sebagai konsumen tembaga kedua terbesar di dunia mencatatkan kenaikan penjualan rumah pada Februari sebesar 3,5%. Angka tersebut melebihi estimasi median survei Bloomberg sekitar 1,2%.

PREMI IMPOR

Copper Development Association di New York memperkirakan perusahaan konstruksi mengonsumsi sekitar 40% logam tembaga. Namun, premi impor tembaga ke Negeri Panda sebagai konsumen terbesar di dunia merosot ke posisi terendah sejak November 2012.

Li Chunlan, Copper Analyst CRU Group di Beijing, menuturkan pembayaran premi impor tembaga China tersungkur sampai US$50 per ton. Hal tersebut mengindikasikan melemahnya permintaan dan berpotensi semakin membebani harga tembaga dunia.

Laporan Bank Dunia memperlihatkan harga tembaga Februari 2016 sebesar US$4.599 per ton berhasil naik 2,84% dibandingkan bulan sebelumnya senilai US$4.472 per ton. Secara bulanan (m-o-m) sejumlah logam memang mengalami penguatan kecuali nikel.

Harga nikel Februari sebesar US$8.299 per ton terkoreksi 2,45% dibandingkan Januari US$8.507 per ton. Pada perdagangan Kamis (24/3/2016), harga nikel LME untuk kontrak Mei 2016 berada di posisi US$8.622,25 per ton.

Sementara itu, American Iron and Steel Institute (AISI) melaporkan impor baja mentah Paman Sam pada Februari mencapai 2,212 juta ton dan baja matang sejumlah 2,079 juta ton. Angka tersebut turun 16,5% dan 6,7% dibandingkan bulan sebelumnya (m-o-m).

Dalam dua bulan pertama 2016, total impor baja mentah ialah 4,86 juta ton dan baja matang 4,307 juta ton. Pencapaian tersebut turun secara tahunan (y-o-y) masing-masing sebesar 40% dan 34%. 

AISI memperkirakan total impor baja sepanjang 2016 turun 25% dan 18% dibandingkan tahun sebelumnya (y-o-y) sejumlah 29,2 juta ton untuk baja mentah, serta 25,8 juta ton baja matang.

Pada Februari, volume impor baja terbesar berasal dari Korea Selatan (374.000 ton, naik 55% dari Januari), Turki (207.000 ton, turun 16%), Jepang (114.000 ton, turun 40%), Jerman ( 80.000 ton, turun 33%) dan China (80.000 ton, turun 12%).

Selama dua bulan pertama 2016, secara tahunan (y-o-y) Korea Selatan menyumbang 615.000 ton (turun 53%), Turki 450.000 ton (turun 23%), Jepang 299.000 ton (turun 34%), Jerman 200.000 ton (turun 32%) dan China 172.000 ton (turun 63%).

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Sumber : Bisnis Indonesia (30/3/2016)

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper