Bisnis.com, JAKARTA - Meski menjadi logam industri yang terjatuh paling dalam pada 2015, harga nikel diperkirakan membaik dalam periode 2016-2017 menuju kisaran US$8.910 per ton-US$11.942 per ton.
Data Bloomberg menunjukkan harga nikel untuk kontrak Februari 2016 pada penutupan perdagangan Selasa (25/1) berada di posisi US$8.531 per ton.
Head of Research PT Maybank Kim Eng Indonesia Isnaputra Iskandar menyampaikan, tahun lalu harga nikel terjatuh 41,8% secara tahunan, diikuti seng (26,5%), tembaga (26,1%), timah (24,9%), alumunium (17,8%), dan timbal (2,5%).
"Melambatnya permintaan, terutama dari China menjadi alasan runtuhnya harga nikel," tulisnya dalam laporan yang dikutip Bisnis.com, Selasa (26/1/2016).
Dengan posisi harga US$8.500 per ton pada 2015, lebih dari 50% produsen global mengalami kerugian. Namun, adanya rencana pemangkasan pasokan tentunya memberikan dampak signifikan terhadap harga.
Adapun faktor yang dapat menyeret harga ke level rendah menurut London Metal Exchange ialah persediaan yang masih tinggi dan ketidakpastian ekonomi dunia, terutama China.
Oleh karena itu, Maybank mengasumsikan harga nikel pada 2016, setelah dipotong 25% dari proyeksi sebelumnya, berkisar US$ 8.910 per ton. Sedangkan pada 2017 , harga diperkirakan sebesar US$11.942 per ton, setelah dipangkas 8,3% dari prediksi sebelumnya.
Bank Dunia dalam Commodity Market Outlook January 2016 memproyeksikan harga logam secara keseluruhan dapat terkoreksi 10%. Hal terebut terjadi akibat menurunnya permintaan pasar negara berkembang, khususnya China, dan peningkatan kapasitas produksi yang baru.
Harga bijih besi menurun paling tajam sekitar 25%, karena berkurangnya impor dari produsen baja di Negeri Panda dan adanya pasokan baru di Australia dan Brazil. Penurunan nilai jual diikuti nikel sebanyak 16% dan tembaga sebesar 9%.
Sementara itu, China’s State Council berencana memotong kapasitas produksi baja pada tahun ini sekitar 100 juta ton hingga 150 juta ton, yang berpotensi merumahkan 400.000 pekerja.
Andrew Collier, independent China analyst sekaligus mantan Presiden Bank of China International USA mengatakan, tingginya tingkat utang Negeri Panda akan lebih baik digunakan untuk mendukung bisnis yang lebih bisa berkembang.
"Ini adalah tanda positif penyesuaian China saat mengalami perlambatan, yakni bertindak lebih efisien dan ekonomis. Namun, perlu juga ada pertimbangan mengenai PHK [pemutusan hubungan kerja]," tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Selasa (26/1/2016).
World Steel Association melansir produksi baja global pada 2015 turun mencapai titik terendah sejak enam tahun terakhir. China, sebagai produsen terbesar ikut menyusut 2,3% menjadi 803,8 juta ton dan mencatatkan pencapaian terendah dalam 25 tahun terakhir.