Bisnis.com, SINGAPURA – Beberapa tambang bijih besi yang membutuhkan biaya operasional yang tinggi diprediksi akan berguguran selama tiga tahun ke depan. Pasalnya, harga bijih besi diprediksi terus melorot karena produksi berbiaya lebih murah kian menjamur.
Christian Lelong, analis Goldman Sachs Group Inc., mengatakan perusahaan pertambangan bijih besi dengan neraca keuangan yang lemah mustahil bertahan di pasar bijih besi saat ini. Pasalnya dalam jangka pendek pertumbuhan pasokan akan terus naik dan melupakan penurunan harga yang tajam.
“Oversupply yang berlebihan membuat harga terus terjun bebas hingga produksi marginal pun terpaksa keluar,” ujarnya seperti dilansir Bloomberg pada Kamis (9/4).
Pada perdagangan pekan lalu, harga bijih besi jatuh ke level US$50 per ton setelah dua penambang terbesar dunia BHP Billiton Ltd. dan Rio Tinto Group terus menggenjot produksi dengan biaya yang lebih murah.
Piet-Hein Ingen Housz, Kepala Komoditas Logam Global ABN Amro Bank NV, mengatakan jika mengandalkan pelemahan mata uang untuk mentoleransi harga bijih besi yang jatuh, maka kondisi itu sulit dipertahankan untuk jangka panjang.
“Apalagi harga bijih besi berpotensi terus turun dan bisa jadi akan sentuh level US$40 per ton,” ujarnya.
Credit Suisse pun memangkas proyeksi harga bijih besi pada tahun ini menjadi US$51 dibandingkan proyeksi sebelumnya senilai US$73.