Bisnis.com, JAKARTA— Pelaku industri reksa dana harus bersiap-siap dikenakan pajak penghasilan atas produk berbasis obligasi sebesar 15%, akibat molornya revisi Peraturan Pemerintah No. 16/2009 yang mengatur ketentuan tersebut.
Kepala Eksekutif Pengawas Pasar modal Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Nurhaida menegaskan implementasi perubahan PP 16/2009 terpaksa mundur hingga batas waktu yang belum ditentukan. Pelaksanaannya masih menunggu pengesahan dari Presiden.
“Untuk itu, akan berlaku peraturan yang sudah diberlakukan sampai draf revisi ditandatangani Presiden,” kata Nurhaida saat dijumpai Bisnis, Senin (30/12).
Selama ini, pemerintah telah menetapkan PP No. 16/2009 tentang PPh atas Penghasilan Berupa Bunga Obligasi. Dalam peraturan itu disebutkan investor dikenakan PPh 5% terhadap produk reksa dana dengan portofolio obligasi pada 2011-2013, selanjutnya akan ditingkatkan menjadi 15% pada 2014.
Pelaku industri kemudian meminta insentif berupa penundaan pemberlakuan penaikan pajak tersebut. Menanggapi itu, OJK dan Direktorat Jenderal Pajak sepakat membidani revisi PP 16/2009. Sebelumnya direncanakan agar pajak penghasilan reksa dana dari obligasi tetap sebesar 5% hingga 2020. Bahkan setelah 2020, kenaikannya tidak sampai 15%, hanya 10%.
“Kenyataannya, sampai sekarang draf perubahan itu belum final. Ya, mau gimana lagi. Kami hanya mengikuti ketentuan regulator, terpaksa bayar 15%,” ucap Fajar Rachman Hidajat, Direktur PT CIMB Principal Asset Management kepada Bisnis, Senin (30/12).
Menurut Fajar, molornya implementasi kebijakan baru itu mengulangi situasi pada 2009. Kala itu, pemungutan pajak penghasilan atas reksa dana obligasi mundur 3 bulan dari target waktu pelaksanaan.
Selengkapnya baca http://epaper.bisnis.com/index.php/PopPreview?IdContent=33&PageNumer=9&ID=128120