Bisnis.com, JAKARTA — PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) tetap berekspansi kendati pendapatan tahun ini mengalami penurunan.
Head of Investor Relation PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) Michael Kesuma mengatakan hingga akhir tahun ini Sampoerna Agro ingin menambah sekitar 25.000 hektare lahan tanam dengan perincian sekitar 10.000 hektare untuk kelapa sawit dan 15.000 hektare untuk sagu dan karet.
“Daerahnya ada di Sumatra Selatan, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah,” kata Michael saat dihubungi Bisnis, Rabu (21/8/2013).
Pada paruh pertama tahun ini, pendapatan perseroan tercatat ada di level Rp26,725 miliar. Adapun hingga akhir tahun lalu Sampoerna Agro membukukan laba bersih sekitar Rp149,88 miliar. Sepanjang semester ini hampir seluruh emiten CPO menderita penurunan pendapatan yang cukup signifikan.
Michael mengatakan, harga pasaran CPO produksi Sampoerna Agro turun 18% dibandingkan dengan tahun lalu. Penurunan harga ini, menurut Michael, diperparah dengan volume penjualan yang ikut turun 15%, sementara dilihat dari volume produksi justru meningkat.
Dia yakin, pada semester kedua tahun ini, volume produksi Sampoerna Agro masih bertambah meskipun Michael tak berani memprediksi. Pasalnya anomali cuaca akhir-akhir ini membuat produksi kelapa sawit sulit dikuantifikasi.
Beberapa hari ini, Sampoerna Agro dan produsen CPO lain, tengah menikmati ‘hikmah’ penguatan nilai dolar. Sebagai komoditas global, CPO berpatokan terhadap nilai dolar AS dan bursa komoditas luar negeri seperti Malaysia dan Rotterdam. Terlebih, setiap bulannya, Sampoerna Agro mengekspor 15% produk CPO ke Singapura.
“Kenaikan dolar berefek langsung pada kita, karena beberapa shipment kita terima dalam bentuk dolar. Kalau dolar menguat 10% lebih, ya artinya itu akan terefleksi sebesar itu dalam pendapatan kami,” Michael menjelaskan. Selama ini, Sampoerna Agro menerima pembayaran dalam dua mata uang yaitu rupiah dan dolar.
Soal target pendapatan hingga akhir tahun nanti, dia menjelaskan, pihaknya belum bisa memastikan karena faktor harga dan produksi yang sulit diprediksi.
Sementara itu, menurut analis dari PT First Asia Capital, David Sutyanto, masalah utama yang dihadapi Sampoerna Agro adalah harga pasar yang anjlok. Saat ini harga CPO ada pada kisaran 2.300 ringgit sedangkan pada kondisi normal bisa mencapai 3.500 ringgit. “Kalau melihat harga sekarang, rasanya pesimistis bisa bagus,” kata David.
Pada paruh pertama tahun ini, pendapatan perseroan baru mencapai 20% dari total pendapatan tahun lalu, padahal waktu yang tersisa hingga akhir tahun nanti kurang dari 6 bulan.
Walau demikian, David menyarankan bagi investor yang memegang saham emiten ini tak buru-buru melepaskannya. “Sayang kalau dilepas, di cash kan dulu atau di hold saja,” kata David. Saat ini sekitar 67,05% saham Sampoerna Agro dimiliki masyarakat.
Menurut dia, CPO dan batu bara sudah mengalami periode penurunan yang panjang, sementara sektor lain baru terlihat tren penurunan. “Kalau mau terkoreksi paling berapa banyak lagi sih,” ungkap David.
Terlebih, dia menambahkan, ada sinyal positif pascanaiknya nilai dolar AS terhadap rupiah yang bakal mengerek pendapatan perseroan, meskipun efeknya takkan terlampau signifikan.
Pada bursa kemarin, Sampoerna Agro ditutup naik 60 poin atau 3,77% ke posisi Rp1.650 per saham. Dalam 6 bulan terakhir, saham Sampoerna Agro mencatatkan titik tertinggi pada awal Februari dengan posisi Rp2.350, sedangkan posisi terendah Rp1.540 pada minggu pertama Juli. Sementara itu, harga CPO untuk pengiriman November naik ke posisi Rp2.330 di Bursa Malaysia Derivatives.