BOSAN dengan heboh berita PT Bumi Resources Tbk (BUMI)? Mungkin baik kita tengok sebentar PT Garda Tujuh Buana Tbk (GTBO), emiten batu bara lain di bursa yang nyaris luput dari perhatian.
Dua tahun silam, GTBO ini masih rugi Rp21,52 miliar. Sahamnya juga masih di kelas cepek-an, dengan volume perdagangan relatif sepi. Sampai kemudian sesuatu terjadi.
Laporan keuangan GTBO per 31 Desember 2011 menyebutkan laba bersihnya melejit 8.704% ke Rp74 miliar. Penjualannya juga meroket 1.147% ke Rp320 miliar setara 1,10 juta ton.
Saham GTBO pun akhirnya naik kelas. Dari level cepek-an sejak masuk bursa Juli 2009, pada 2011 itu sudah naik ke level Rp700-an. Dan itu semua hanya terjadi dalam beberapa bulan.
Kisah fenomenal ini berulang. Semester I/2012, laba bersihnya meroket 7.294% senilai hampir Rp1 triliun dengan lompatan penjualan 2.988% ke Rp1,15 triliun setara 4,20 juta ton.
Target semester kedua yang dipancang pun tak main-main: Laba bersih mendekati Rp1 triliun dengan penjualan 3 juta ton. Target total tahun ini, laba bersih Rp2 triliun penjualan 7 ton.
Kalau target itu benar dapat terealisasi, laba bersihnya per 31 Desember 2012 akan bertambah 9 kali lipat dengan penjualan batu bara yang melompat 7 kali lipat. Fantastis.
Belum cukup itu, seraya menyiapkan belanja modal US$3 juta, GTBO juga menargetkan akan mengakuisisi satu tambang batu bara di Indonesia dengan cadangan lebih dari 200 juta ton.
Serangkaian kisah fenomenal itu akhirnya mengantarkan saham GTBO ke level Rp7.000-an, hingga sampai di puncak rekor harganya pekan lalu, persisnya 14 September, pada Rp7.200.
Namun, tak disangka, sesuatu kembali terjadi. Sekonyong-konyong GTBO menukik tajam, terus dan nyaris tanpa jeda. Bahkan sampai kemarin (26/09), GTBO longsor lagi 22,84% ke Rp3.800.
Itu berarti, hanya dalam sepekan hari perdagangan bursa, harga GTBO, sang fenomena baru itu, sudah meleleh lebih dari 50%. Apa yang sebenarnya terjadi?
***SEBAGIAN pelaku pasar sebetulnya sudah mewaspadai kemungkinan terjadinya roller coaster pada GTBO. Persisnya sekitar 2 bulan lalu, saat laporan keuangannya per 30 Juni 2012 terbit.
Dalam laporan itu GTBO membagi penjualannya dalam tiga kategori, yakni penjualan lokal yang nilainya nihil, penjualan ekspor senilai Rp436,90 miliar, dan penjualan lain-lain Rp711,15 miliar.
Perlu segera ditambahkan, Rp711,15 miliar dari penjualan lain-lain itu merupakan uang muka penjualan 10 juta ton batu bara dari tambang milik GTBO di Pulau Bunyu, Kalimantan Timur.
Kontrak penjualannya baru diteken 14 Juni 2012, dengan pembeli yang berasal dari Uni Emirat Arab. Tak ada penjelasan siapa gerangan pembeli ini.
Kontrak tersebut berlaku tiga periode pengiriman, 3 juta ton sebelum 31 Desember 2014, 3,5 juta ton sebelum 31 Desember 2015, dan 3,5 juta ton sebelum 31 Desember 2016.
Dalam sejarah pelaporan emiten batu bara di bursa, rasanya baru kali ini ada penjualan batu bara lain-lain. Ternyata memang, penjualan lain-lain itu 'lain' dari penjualan yang biasa dikenal awam.
Sebab dalam kontrak jual belinya, pembeli asal Timur Tengah itu akan menggali sendiri batu bara milik GTBO di Pulau Bunyu, bukan membeli stok batu bara hasil produksi perseroan.
Jadi, mulai dari proses penggalian, pengupasan, sewa alat, bayar buruh, ongkos angkut dst... adalah tanggung jawab pembeli. Singkatnya, GTBO tinggal ongkang-ongkang kaki, uangnya masuk sendiri.
Itulah sebabnya, GTBO menjual batu bara lain-lainnya tersebut pada harga yang sangat murah, yakni US$25 per ton—diskon sekitar 37,50% dari harga normalnya, US$40 per ton.
Masalahnya, model penjualan lain-lain ini belum tentu dibenarkan standar pencatatan akuntasi. Pada akhir Juli itu, di beberapa forum, beberapa pelaku pasar bahkan sudah saling menggunjingkannya.
Beberapa trader mengatakan model penjualan GTBO itu lebih mirip sewa tambang, yang biayanya disepakati sebesar US$25 untuk setiap ton batu bara yang berhasil diambil.
Dan lagi, penjualan lain-lain itu tidak punya biaya, alias menyalahi prinsip matching cost agains revenue. Jadi, lebih tepat kalau Rp711,15 miliar itu dicatat ke pos pendapatan sewa/ lain-lain.
Tentu saja, mem-posting Rp711,15 miliar itu ke pos pendapatan sewa punya konsekuensi: Tak boleh diakui 100% alias harus dipecah sesuai jumlah atau periode laporan keuangannya.
Dengan mengingat Rp711,15 miliar itu adalah uang muka penjualan 3 juta ton batu bara yang akan ditambang sampai 31 Desember 2014, maka Rp711,15 miliar itu musti dibagi 36 (bulan).
Itu berarti, untuk laporan keuangan per 30 Juni 2012, GTBO hanya boleh mencatat pendapatan sewa sebesar Rp711,15 miliar dibagi 36 bulan dikali 6 bulan = Rp118,52 miliar.
Menariknya, pada saat yang hampir bersamaan dengan keluarnya laporan keuangan per 30 Juni itu, muncul pula pengakuan bahwa GTBO mendirikan anak usaha baru di Uni Emirat Arab.
Anak usaha yang didirikan 26 Juni 2012 itu bernama GTB Internasional FZE. Sahamnya 100% dikuasai GTBO, dengan penyetoran modal sebesar Dh25.000 setara Rp64,51 juta.
Perusahaan ini didirikan untuk menjual batu bara, bijih logam, serta bahan bakar di pasar perdagangan internasional dari kawasan Timur Tengah.
Tentu menjadi pertanyaan, kenapa manajemen GTBO tidak menginformasikan ikhwal pendirian anak perusahaan itu dalam laporan keuangannya per 30 Juni 2012.
Kenapa pula dalam kesempatan yang sama manajemen GTBO memilih tidak menyampaikan laporan keuangan konsolidasi, mengingat sahamnya di anak perusahaan baru tersebut mencapai 100%.
Dan, ini yang menarik, kenapa GTBO tak berterus terang saja, siapa gerangan pembeli batu bara ‘lain-lain’ asal Timur Tengah itu. Apa jangan-jangan pembelinya itu ya anak usaha barunya itu?
Andaikata jawaban dari pertanyaan spekulatif yang terakhir itu afirmatif, maka akan ada konsekuensi lain yang jauh lebih serius dari sekadar ‘kesalahan posting’ seperti sudah diuraikan tadi.
Data penjualan batu bara lain-lain sebesar Rp711,15 miliar seperti yang tertulis dalam laporan keuangan GTBO per 30 Juni itu dengan sendirinya harus dihapus.
Jadi, mungkin baik jika kita tidak terlalu banyak berspekulasi.
***
TAPI persoalannya, spekulasi acap datang dari ketakterusterangan. Di luar penjualan lain-lain itu, dalam laporan keuangannya per 30 Juni, GTBO juga tak menjelaskan kewajiban pajak penghasilannya.
Memang, pembayaran pajak tak harus dipenuhi 6 bulan itu. Namun, tentu saja pembayaran itu satu hal, dan penjelasan hal lain. Jadi, tidak berarti emiten boleh abai memasukkan perkiraan perhitungannya.
Apalagi, kewajiban perpajakan juga merupakan variabel yang turut diperhitungkan dalam berbagai rasio keuangan, alias menyangkut fundamental perseroan. Dengan kata lain, memengaruhi keputusan trader.
Belum juga jelas soal kewajiban perpajakan ini, pada 17 September 2012, pemilik 26,61% GTBO yakni PT Garda Minerals tiba-tiba melepas 1,81 juta GTBO pada harga yang tidak diketahui.
Aksi pengurangan kepemilikan itu kembali dilanjutkan Garda Minerals dua hari berikutnya, tepatnya 19 September, yakni dengan melepas 1,65 juta GTBO.
Direktur Garda Minerals Fakir Chand dalam keterbukaannya ke bursa mengatakan tujuan penjualan GTBO dalam dua hari yang berdekatan itu adalah adalah persiapan dana untuk melakukan investasi.
Baiknya memang kita jangan banyak berspekulasi. Tapi sampai di sini rasanya sudah terang benderang kenapa dalam sepekan terakhir GTBO meleleh lebih dari 50%. (bastanul.siregar@bisnis.co.id)