Bisnis.com, JAKARTA – Manajemen PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. mulai menunjuk sejumlah lembaga penjamin untuk dapat segera menerbitkan obligasi global (global bond) sebanyak-banyaknya US$750 juta.
Direktur Keuangan dan Manajemen Risiko PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Helmi Imam Satriyono menyampaikan perseroan telah melakukan penunjukan investment bank. Setelah pelaksanaan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), maskapai pelat merah tersebut akan segera melakukan roadshow.
“Kami sudah melakukan penunjukkan [instansi penjamin], ada empat yaitu Standard Chartered, Deutsche Bank, ANZ, dan Bank of Tokyo Mitsubishi. Sejauh ini nilainya [yang akan diajukan] masih up to US$750 juta,” ungkap Helmi di Jakarta, pekan lalu. Perseroan menjadwalkan pelaksanaan RUPS pada awal kuartal II/2018.
Helmi menambahkan perseroan juga memiliki wacana untuk menerbitkan obligasi rupiah dengan nilai sebanyak-banyaknya setara US$200 juta. Kendati demikian, perseroan masih mengkaji kondisi struktur keuangan dan pasar untuk memutuskan penerbitan bligasi rupiah tersebut.
Emiten dengan kode saham GIAA tersebut berencana mengalokasikan US$250 juta dari rencana penerbitan obligasi sebesar US$750 juta, untuk dapat masuk ke kas perusahaan.
Sisanya, maskapai pelat merah tersebut berencana menempuh refinancing, terutama untuk pembayaran obligasi berdenominasi rupiah sebesar Rp2 triliun yang akan jatuh tempo pada Juli tahun ini. Dana sekitar US$250 tersebut akan digunakan untuk operasional perusahaan.
Helmi menyampaikan perseroan membutuhkan cashflow sebesar US$250 juta tersebut terutama untuk menopang kinerja anak perusahaan dan sebagai tambahan belanja modal induk dan anak usaha.
“Dari US$750 itu, sebenarnya kami hanya akan terima US$250 juta. Sisanya akan dipakai untuk refinancing, terutama untuk obligasi yang jatuh Juli 2018. Selebihnya untuk dukung anak perusahaan, capex, dan kebutuhan lain,” kata Helmi.
Sementara itu, Direktur Utama PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. Pahala N. Mansury menyampaikan perusahaan menjaga tren finansial stabil, sehingga memungkinkan GIAA dapat membukukan keuntungan pada tahun ini.
Menurutnya, sejumlah indikator penerbangan menunjukkan kinerja baik mulai dari jumlah penumpang, keterisian pesawat baik rute domestik maupun internasional, dan utilisasi pesawat yang pada 2017 naik 40 menit menjadi 9 jam 36 menit.
“Pada 2018 ini kami ingin fokus meningkatkan utilisasi. Kami juga targetkan pada tahun ini paling tidak margin untuk penerbangan internasional sudah break even point,” terang Pahala.
Adapun, Garuda Indonesia membukukan rugi usaha sepanjang 2017 sebesar US$67,6 juta atau tergerus 23,5% dibandingkan tahun sebelumnya.
Pada 2016 lalu, Garuda Indonesia masih membukukan laba sebesar US$9,36 juta. Adapun, kerugian tahun ini sebesar US$67,6 juta tersebut tanpa memperhitungkan extraordinary item. Dengan memperhitungkan extraoedinary item, rugi Garuda Indonesia mencapai US$213,4 juta atau anjlok 2.378,6%.
Pada 2017, Garuda Indonesia meraup pendapatan sebesar US$4,2 miliar atau naik 8,1% dibandingkan periode sama tahun sebelumnya.