Bisnis.com, JAKARTA—PT Telekomunikasi Indonesia (Persero) Tbk. (Telkom) baru saja mengumumkan kinerjanya sepanjang kuartal I 2015.
Di tengah tekanan kompetisi dan makro ekonomi, prestasi yang diraih oleh operator pelat merah ini dinilai lumayan kinclong pada periode Januari-Maret 2015.
Sepanjang kuartal I 2015, emiten dengan kode saham TLKM ini membukukan keuntungan sebesar Rp3,814 triliun atau naik 6,4% dibandingkan dengan periode yang sama 2014 sebesar Rp3,585 triliun.
Sementara itu, pendapatan yang berhasil diraih pada kuartal I 2015 sebesar Rp23,616 triliun, naik 11,1% dibandingkan dengan periode sama tahun sebesar Rp21,25 triliun.
Namun, ternyata pasar saham berkata lain. Kinerja yang kinclong tak terefleksi dalam pergerakan saham TLKM. Pasca kinerja diumumkan, saham Telkom sempat menukik tajam sebesar 10% menjadi Rp2.615 dari Rp2.905.
Penurunan itu menggerus kapitalisasi pasar saham Telkom senilai Rp29 triliun menjadi Rp264 triliun dari sebelumnya sempat menyentuh Rp293 triliun.
Bahkan, dalam penutupan perdagangan Selasa (5/5/2015), saham Telkom kembali tertekan menjadi Rp2.715 dari pembukaan Rp 2.750.
Analis PT NH Korindo Securities Indonesia, Reza Priyambada mengungkapkan salah satu sentimen negatif bagi saham Telkom adalah tak kunjung selesainya transaksi share swap dengan PT Tower Bersama Infrastructure Tbk. (TBIG) dalam rangka monetisasi anak usahanya di bisnis menara, yakni PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel).
“Banyak informasi simpang siur tentang nasib transaksi share swap itu. Ini menjadikan investor ritel bingung, akhirnya berdampak ke saham Telkom belakangan. Sebaiknya manajemen Telkom dan Tower Bersama menjelaskan secara detail posisi terbaru dari transaksi itu,” ungkapnya, Rabu (6/5/2015).
Menurutnya, aksi share swap itu menguntungkan bagi Telkom karena bisa ikut menikmati secara keberlanjutan keuntungan dari bisnis menara dengan memiliki sebagian saham dari Tower Bersama.
Dia menegaskan transaksi ini seharusnya dilihat secara jernih dan detail. Jika dipaksa Mitratel itu initial public offering (IPO), tak akan maksimal keuntungan didapat.
“Dari sisi teknis ada biaya harus dikeluarkan, belum lagi untuk meningkatkan valuasi dari perusahaan yang akan dibawa ke bursa, itu investasi lagi. Mana mau pasar terima barang kalau dibandingkan dengan emiten sejenis tak menarik,” katanya.
Jika Telkom dipaksa mengelola sendiri menara miliknya juga akan menimbulkan meningkatnya biaya depresiasi sehingga bisa membebani kinerja.
“Paling tepat memang backdoor listing. Ada potensi juga bisa menjadi mayoritas di Tower Bersama karena bisa membeli saham dari publik atau pemegang saham lainnya,” katanya.
Dalam catatan, berdasarkan kajian sejumlah analis jika Mitratel dikembangkan sendiri oleh Telkom tak memberikan profitabilitas maksimal dengan tenancy ratio yang rendah dibandingkan pemain menara sejenis yang ada di bursa saham.
Seandainya dipilih aksi IPO hanya bisa menghasilkan nilai Rp5,5 triliun–Rp5,9 triliun, sedangkan jika backdoor listing dengan Tower Bersama bisa menghasilkan nilai Rp11,4 triliun di luar beberapa keuntungan.
Dalam transaksi ini, Telkom akan melepas sahamnya di Mitratel secara bertahap kepada Tower Bersama dengan cara share swap. Tower Bersama akan menguasai 100% saham Mitratel dengan kompensasi Telkom memiliki 13.7% saham TBIG. Secara bertahap, Telkom bisa menambah sahamnya dengan beberapa syarat. Proses transaksi ini telah bergulir sejak 2014.
VP Investor Relation Telkom Andi Setiawan, dalam keterbukaan informasi, Senin (4/5) menegaskan proses transaksi share-swap tersebut masih berlangsung hingga kini. Kedua belah pihak masih dalam tahap pemenuhan syarat dan ketentuan terkait transaksi.
Aksi itu mengacu pada dokumen yang ditandatangani Oktober 2014 lalu dan masih akan berlaku sampai Juni mendatang.
Sebelumnya, anggota BPK Achsanul Qosasi menilai proses tender share swap yang dilakukan Telkom transparan dan tak bermasalah.
“Kami melakukan audit untuk proses tender. Hasilnya sesuai, tidak ada hal aneh, dan baik-baik saja. Yang aneh justru ada isu-isu yang berakibat saham Telkom justru turun bebas karena seolah-olah memang benar-benar ada kerugian. Itu merugikan negara. BPK belum bisa mengatakan adanya kerugian negara karena transaksinya belum tuntas terjadi. Justru, negara dirugikan karena isu itu,” tegasnya.