Bisnis.com, JAKARTA — Rencana go public PT Dayamitra Telekomunikasi alias Mitratel digadang-gadang bakal memecahkan rekor baru di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Selain dapat memacu aktivitas di pasar modal, rencana aksi initial public offering atau IPO anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. tersebut bakal meramaikan persaingan antarperusahaan menara telekomunikasi Tanah Air.
Aksi korporasi tersebut juga berpotensi mencetak rekor baru dengan nilai IPO tertinggi sepanjang sejarah pasar modal Indonesia, sejalan dengan rencana Mitratel yang akan melepas sebanyak-banyaknya 25,54 miliar saham ke publik. Mitratel juga mengincar dana segar Rp19,79 triliun hingga Rp24,9 triliun dari IPO.
Rencana IPO Mitratel yang sekaligus merealisasikan ambisi Menteri BUMN Erick Thohir untuk membawa belasan BUMN dan anak usaha BUMN untuk go public dalam 3 tahun ke depan, menjadi salah satu berita pilihan Bisnisindonesia.id.
Selain berita tersebut, beragam kabar ekonomi dan bisnis yang dikemas secara mendalam dan analitik juga tersaji dari meja redaksi Bisnisindonesia.id.
Berikut intisari dari top 5 News Bisnisindonesia.id yang menjadi pilihan editor, Rabu (27/10/2021):
Ekspansi Ritel Modern Tersendat Mandatori Waralaba
Mandatori peritel modern untuk mewaralabakan toko dinilai dapat menghambat momentum pemulihan sektor industri perdagangan eceran. Di sisi lain, mencari pewaralaba di tengah pandemi bukanlah perkara mudah.
Pengamat ritel sekaligus Staf Ahli Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Yongky Susilo menjelaskan ritel modern yang masih memiliki modal akan memasukkan ekspansi dalam rencana bisnis.
Dengan demikian, adanya kewajiban untuk mewaralabakan toko jika gerai yang dimiliki perusahaan lebih dari 150 unit bisa menjadi pengganjal hal tersebut.
Beberapa ritel modern format supermarket yang membuka waralaba di antaranya adalah Lion Express dan Alfamidi. Sementara itu, ritel format hypermarket sendiri masih sulit diwaralabakan karena modal yang diperlukan mencapai puluhan miliar.
Menakar Valuasi Saham Mitratel dan Prospek Menjulang Bisnis Menara Pasca-IPO Mitratel
Pasar modal Indonesia bakal makin semarak dengan kedatangan emiten baru, PT Dayamitra Telekomunikasi (Mitratel).
Euforia initial public offering (IPO) anak usaha PT Telkom Indonesia (Persero) Tbk. itu sudah mulai terasa saat ini, kendati perusahaan itu rencananya baru mencatatkan saham perdana di Bursa Efek Indonesia pada 22 November 2021.
Namun, bukan tanpa alasan jika euforia IPO Mitratel cukup tinggi, mengingat perusahaan tersebut digadang-gadang bakal memecahkan rekor baru di Bursa Saham Indonesia (BEI). Sejumlah kalangan pun memproyeksi target tersebut bisa dicapai.
Sejalan dengan itu, ekosistem kuat Telkom Group menjadi nilai tambah bagi Mitratel dalam persaingan antarperusahaan pemilik menara telekomunikasi yang sudah berstatus terbuka.
Dukungan serat optic TLKM yang tersebar dari ujung barat hingga ujung timur Indonesia, membuat menara Mitratel tertancap di mana-mana.
Jika Mitratel hanya menyewakan kepada Grup Telkom dan tidak menyewakan kepada yang lain, perusahaan juga sudah memperoleh keuntungan.
Modern Land China Gagal Bayar Obligasi, Krisis Berikutnya?
Krisis utang Evergrande berbuntut panjang dan menyeret developer lain menuju keterpurukan. Perkembangan terakhir, Modern Land China, yang berbasis di Beijing dan membangun rumah hemat energi di seluruh negara itu, tidak membayar baik pokok maupun bunga obligasi senilai US$250 juta.
Developer real estat China yang menggunakan teknologi hijau itu melewatkan pembayaran utang, sehingga memperpanjang kisah kemerosotan kinerja pengembang China yang berawal dari krisis Evergrande.
Debitur China gagal membayar setidaknya US$8,7 miliar obligasi luar negeri sepanjang tahun ini, dengan industri real estat menyumbang sepertiga dari jumlah tersebut.
Itu terjadi ketika pihak berwenang menekan leverage yang berlebihan di sektor real estat di tengah krisis di China Evergrande Group yang membuat banyak investor di seluruh dunia gelisah.
Beberapa pengembang default bulan ini, meskipun Evergrande melakukan pembayaran kupon pekan lalu sebelum masa tenggang berakhir.
Tarif PCR Diminta Turun Jadi Rp300.000, Berapa Harga Sebenarnya?
Instruksi Presiden yang meminta harga tes PCR kembali turun, bahkan bisa di kisaran Rp300.000, malah menimbulkan tanda tanya, berapa sebenarnya harga keekonomian untuk tes PCR ini? Kalau memang harga tes PCR bisa turun menjadi Rp300.000, kenapa baru sekarang pemerintah melakukannya?
Sebelumnya, harga tes PCR di Indonesia mencapai Rp900.000, bahkan di sejumlah tempat dan daerah bisa di atas Rp1 jutaan.
Spanduk bertuliskan harga tes usap polymerase chain reaction (PCR) terpasang di sebuah lokasi penyedia layanan tes Covid-19 di Jakarta, Minggu (15/8/2021). /Antara
Kemudian, tak berselang lama setelah berita tentang perbandingan harga tes PCR di India dan Indonesia yang berselisih jauh beredar luas, Presiden Joko Widodo pada pertengahan Agustus 2021 menginstruksikan agar batas tarif tertinggi untuk tes PCR diturunkan ke kisaran Rp450.000—Rp550.000.
Kini, perdebatan soal tarif tes PCR kembali mencuat, bersamaan dengan dikeluarkannya kebijakan baru yang mewajibkan semua penumpang pesawat menyertakan hasil negatif tes PCR untuk melakukan perjalanan dengan transportasi udara.
Selisik Dugaan Pemalakan Importir, Mangsa Empuk Pungli Kontainer
Industri logistik nasional kembali diguncang kabar tak sedap. Menyusul kisruh kenaikan ongkos logistik domestik, industriawan kini membeberkan dugaan praktik perusahaan kargo yang memungut biaya importasi di luar jasa yang diberikan kepada importir.
Dugaan pungutan liar alias pungli yang dilakukan agen kargo itu disinyalir mencapai Rp1 juta hingga Rp3 juta per peti kemas atau kontainer.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat (BPP) Gabungan Importir Nasional Seluruh Indonesia (GINSI) Subandi mengeklaim banyak agen kargo atau pengapalan yang menetapkan biaya di luar kewajaran. Bahkan, muncul sejumlah biaya yang tidak ada pelayanannya.
Berdasarkan invoice yang dikeluarkan PT MAP Trans Logistic kepada PT Lumbung Pangan Mandiri Bersama, terdapat sejumlah biaya importasi yang dikenakan seperti THC, EHS charges, TIS charges, LOLO, DO fee, Adm fee, Cleaning hingga Congestion recovery surcharge.
Atas dasar temuan tersebut, GINSI meminta Presiden Joko Widodo atau Jokowi untuk menindak tegas praktik pungli pada biaya importasi.