Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Author

Farash Farich

Head of Investment Avrist Asset Management

Farash Farich adalah Head of Investment Avrist Asset Management. Sarjana ekonomi Universitas Indonesia ini pernah menjadi Head of Investment di PT Asanusa Asset Management, Manager Structured Finance di HSBC Amanah Syariah, Equity Analyst di PT Mandiri Sekuritas, dan Corporate Finance Analyst di Delta Advisory Indonesia.

Lihat artikel saya lainnya

Strategi Investasi 2021

Investasi berbasis obligasi dan pasar uang dengan kupon fixed memiliki kinerja yang positif tahun ini. Kinerja setelah pajak obligasi mencapai di atas 9%, sedangkan kinerja instrumen pasar uang dapat mencapai lebih dari 4%.
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo
Pialang memperhatikan Yield SUN Indonesia/Antara-Prasetyo Utomo

Bisnis.com, JAKARTA -- Pandemi Covid-19 menyebabkan ekonomi mengalami resesi dan laba perusahaan turun drastis tahun ini. Namun, hal ini memiliki dampak yang berbeda-beda untuk setiap jenis aset investasi. Aset investasi dengan imbal hasil tetap diuntungkan karena perannya sebagai lindung nilai atas resesi di mana tingkat inflasi yang rendah menyebabkan imbal hasil riil menjadi lebih tinggi.

Investasi berbasis obligasi dan pasar uang dengan kupon fixed memiliki kinerja yang positif tahun ini. Kinerja setelah pajak obligasi mencapai di atas 9%, sedangkan kinerja instrumen pasar uang dapat mencapai lebih dari 4%. Sebaliknya, kinerja saham, yang sangat berkorelasi erat dengan pertumbuhan laba emiten, masih negatif, sekitar 3% (termasuk dividen). Namun, perbaikan kinerja bisnis dan ekonomi mulai terlihat pada kuartal III/2020 dan tampak berlanjut di kuartal IV.

Menjelang 2021, diperkirakan tren positif ini berlanjut, antara lain didukung perbaikan kinerja bisnis secara global seiring berkurangnya lockdown di berbagai negara. Perkembangan perizinan dan distribusi vaksin Covid-19 juga menguatkan asumsi perbaikan bisnis akan berlanjut. Perbaikan ekonomi yang didukung tingkat bunga rendah akan membawa implikasi terhadap kenaikan inflasi secara bertahap, baik di Indonesia maupun di negara lain, seperti Amerika Serikat (AS). Inflasi Indonesia dan AS dapat kembali secara bertahap, masing-masing ke 3% dan 2% seperti sebelum pandemi.

Kenaikan inflasi di Indonesia dan AS akan menurunkan selisih imbal hasil riil antara yield obligasi Pemerintah Indonesia dan AS. Selisih imbal hasil ini merupakan salah satu indikator yang digunakan untuk mengukur valuasi obligasi. Selisih imbal hasil riil Indonesia dan AS saat ini cukup lebar mendekati 500 basis poin (bps).

Potensi kenaikan inflasi kedua negara hingga ke level sebelum pandemi akan menyebabkan selisih imbal hasil turun ke rata-rata historisnya sebesar 250 bps. Semakin cepat perbaikan ekonomi, kenaikan inflasi berpotensi terjadi secara cepat juga. Hal ini menyebabkan potensi penurunan yield surat berharga negara jangka waktu 10 tahun terbatas hanya berkisar 10—20 bps atau ekuivalen dengan potensi capital gain sekitar 1% setelah pajak.

Dengan yield saat ini sekitar 6%, potensi total return surat berharga negara 10 tahun berkisar 6%—6,5% setelah pajak. Kinerja tetap positif, tetapi tidak setinggi 2020 dan kontribusi capital gain terhadap kinerja keseluruhan lebih rendah. Faktor lain yang dapat memengaruhi dinamika pasar obligasi pada 2021 adalah bila perbankan mulai agresif menyalurkan kredit seiring pemulihan bisnis, sehingga akan menyebabkan pengalihan kembali dana idle yang selama tahun ini diinvestasikan di surat berharga negara ke kredit.

Alhasil, investor perlu menyesuaikan strategi investasinya di instrumen obligasi. Overweight pada durasi panjang mungkin tidak memberikan potensi reward dan risk yang seimbang. Namun, very short duration juga terlalu prematur mengingat potensi kinerja masih positif. Sebagai alternatif floating rate bond dapat menjadi pilihan yang baik pada saat inflasi mulai naik.

Sebaliknya, saham sewajarnya dapat memberikan perlindungan lebih baik bagi investor pada masa kenaikan inflasi yang diakibatkan pemulihan ekonomi. Hal ini disebabkan laba perusahaan akan tumbuh pada kondisi ini. Memang pertumbuhan laba bukan karena kegiatan bisnis segera kembali atau lebih baik dibandingkan masa sebelum pandemi, tetapi lebih karena faktor low base laba di 2020.

Dengan valuasi yang cenderung netral saat ini, diperkirakan saham memiliki potensi capital gain yang linier dengan tingkat pertumbuhan laba emiten di IHSG. Pada sembilan bulan di 2020, laba emiten turun sekitar 20% (yoy). Bila laba dapat tumbuh di kisaran 15%—20% dari low base tahun ini, laba emiten kurang lebih masih berada 5%—10% di bawah laba 2019. Dalam jangka yang lebih panjang potensi kinerja saham akan kembali ke jalur yang lebih normal di sekitar 10%—12% per tahun, termasuk dividen, mengingat valuasi saat ini yang sudah kembali netral.

Terkait dengan pemilihan sektor, sebenarnya semua sektor akan diuntungkan oleh pemulihan ekonomi, hanya berbeda skalanya. Sektor bisnis yang sangat tertekan pada saat pandemi tentunya berpeluang mencatat persentase pertumbuhan yang lebih tinggi saat pemulihan ekonomi dibandingkan dengan sektor yang mampu lebih bertahan saat pandemi.

Untuk itu, ada baiknya investor melakukan diversifikasi, tidak hanya fokus mencari angle sektor yang berpotensi tumbuh paling tinggi pada saat pemulihan ekonomi, tetapi lebih baik memilih perusahaan dengan prospek pertumbuhan jangka panjang yang stabil, yaitu perusahaan yang memiliki competitive advantage, cash flow kuat, dan leverage rendah. Kinerja saham emiten akan baik bila didukung fundamental perusahaan yang kuat. Bila tidak, kenaikan harga saham hanya sesaat dan terbelenggu oleh valuasi yang mahal.

Ketika skenario pemulihan ekonomi terjadi sepanjang 2021 dan inflasi naik sesuai ekspektasi, investor perlu mulai menyesuaikan strategi investasinya di pengujung tahun itu atau lebih awal. Hal ini untuk antisipasi pembalikan kebijakan fiskal dan moneter yang akan terjadi tidak hanya di Indonesia, tetapi hampir di seluruh dunia. Pada saat awal penyesuaian atau wacana awal penyesuaian dapat terjadi shifting kembali dari risky assets ke non-risky assets, sehingga dapat menaikan yield di risky assets, atau dengan kata lain harga turun dan volatilitas naik.

Hal ini serupa dengan yang terjadi pada taper tantrum 2013 meskipun skala kali ini lebih besar karena tidak hanya sebatas AS, tetapi seluruh dunia. Penyesuaian yang perlu dilakukan investor adalah dengan realokasi ke short-duration asset.

Mungkin nantinya pilihan ini sulit karena pada saat itu market masih reli dan tindakan tersebut akan menimbulkan underperformance kinerja investasi dalam jangka pendek, tetapi diperlukan untuk menjaga kinerja dalam jangka lebih panjang.

*) Artikel dimuat di koran cetak Bisnis Indonesiaedisi Senin (21/12/2020)   

 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Farash Farich
Editor : Lukas Hendra TM
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper