Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Kabar Vaksin Covid-19 Makin Jelas, Harga Emas Kok Malah Terpuruk?

Harga emas global terus mengalami penurunan. Secara keseluruhan, harganya sudah melorot hingga 13 persen dari posisi tertinggi pada Agustus 2020.
Emas batangan 24 karat ukuran 1oz atau 1 ons./Bloomberg
Emas batangan 24 karat ukuran 1oz atau 1 ons./Bloomberg

Bisnis.com, JAKARTA — Harga emas terus mencatatkan penurunan dan meninggalkan level US$1.800 per troy ounce. Kejelasan vaksin virus corona dan transisi kekuasaan di AS menjadi sejumlah pemicu utama pelemahan harga logam mulia. 
 
Dilansir dari Bloomberg, Minggu (29/11/2020), harga emas menuju penurunan mingguan ketiga, setelah turun 13 persen dari rekor tertingginya pada Agustus 2020. Harga emas juga menunjukkan tren pelemahan sepanjang periode 23-27 November.
 
Harga emas di pasar spot emas turun 1,54 persen menjadi US$1.787,79 per troy ounce pada penutupan Jumat (27/11). Sementara itu, harga emas Comex juga turun 1,28 persen ke level US$1.788,10 per troy ounce. 
 
Kondisi tersebut tak lepas dari kian meningkatnya optimisme pelaku pasar terkait kemajuan pengembangan vaksin virus corona. Vaksin tersebut diyakini akan memacu pemulihan ekonomi global dari pandemi.
 
Laju penurunan harga emas kian cepat seiring dengan sikap investor yang beralih ke aset berisiko yang mencari keuntungan dari pemulihan akhirnya dari pandemi. Perbedaan ini menggarisbawahi bagaimana investor kini makin berpaling dari emas, yang dianggap aset safe haven saat tekanan ekonomi terjadi. 
 
Investor pun cenderung memilih aset seperti tembaga, yang dipandang sebagai indikator pemulihan ekonomi global dan bagian penting dari transisi ke sumber daya energi rendah karbon.
 
Tai Wong, Kepala Perdagangan Derivatif logam di BMO Capital Markets, mengatakan penurunan harga emas dipicu oleh optimisme pasar terkait berita vaksin yang positif. Penurunan ini terjadi di tengah nilai dolar AS yang juga memasuki tren koreksi.
 
"Saat ini, harga emas telah berada di bawah rata-rata pergerakan harian (moving average) 200 hari. Hal ini dapat memicu lebih banyak aksi jual," tuturnya seperti dilansir Bloomberg
 
Indeks dolar AS yang jatuh biasanya mendukung emas, tetapi analis pasar mengatakan hal tersebut tidak berdampak pada logam mulia. Pasalnya, investor telah menggunakan dolar AS sebagai tempat berlindung yang aman, serupa dengan emas selama pandemi virus corona.
 
“Begitu harga menyentuh di bawah level kunci US$1.800, itu memicu aksi jual. Kemungkinan harga akan menguji level US$1.750 saat kami memiliki alasan fundamental yang kuat seperti vaksin," terang analis OANDA Craig Erlam.
 
Penurunan harga emas juga ditopang keluarnya aliran dana dari Exchange Traded Funds (ETF) dengan aset emas.

Instrumen ini menjadi salah satu pilar utama tren kenaikan harga emas selama 2020. Adapun, aset tersebut tengah menuju catatan outflow pertamanya pada tahun ini. 
 
Selain itu, perkembangan positif vaksin yang dimulai pada awal November, juga kian menekan harga emas. Hal ini turut diperkuat kejelasan hasil Pemilihan Presiden (Pilpres) AS
 
Petahana Presiden AS Donald Trump telah menyatakan kesiapannya untuk mengakui kekalahan jika suara elektoral (electoral college) menyatakan kemenangan lawannya, Joe Biden. Sentimen ini memperkuat kemungkinan terjadinya transisi kekuasaan yang mulus di Negeri Paman Sam. 
 
Market Strategist United Overseas Bank Ltd Quek Ser Leang menyampaikan harga emas saat ini telah memasuki fase koreksi lanjutan. 
 
"Apabila harga emas menembus level support antara US$1.760 dan US$1.780, peluang pelemahan ke arah US$1.600 cukup terbuka," ujarnya. 
 
Hal senada diungkapkan Chief Analyst ActivTrades Carlo Alberto De Casa. Menurutnya, pergerakan emas yang menembus level support di US$1.850 akan berdampak negatif bagi harga emas dalam jangka menengah. 
 
"Hal ini membuka peluang terjadinya koreksi lanjutan," ucap De Casa. 
 
Secara terpisah, analis Capital Futures Wahyu Laksono menyampaikan koreksi harga emas disebabkan oleh sentimen stimulus dari AS dan langkah terkait yang akan diambil oleh The Fed. 

Dia menjelaskan prospek vaksinasi yang lebih cepat dari perkiraan diperkirakan mempersulit adanya stimulus fiskal dalam jumlah besar. Pasalnya, hal ini akan mendapat tantangan besar dari Partai Republik yang saat ini masih memegang suara mayoritas di Senat AS.
 
Wahyu melanjutkan kegagalan Partai Demokrat merebut kursi mayoritas di Senat dapat menghambat implementasi sejumlah rencana yang telah dicanangkan Biden, seperti pengembangan energi terbarukan. Kekurangan stimulus fiskal tersebut akan membuat tingkat pemulihan ekonomi di AS menjadi kurang maksimal.
 
“Biden memiliki agenda-agenda yang cukup bertentangan dengan Partai Republik, seperti New Green Deal dan menaikkan pajak korporasi yang akan memicu defisit anggaran yang dalam. Kondisi ketat di Senat AS akan mempersulit kelancaran rencana-rencana tersebut,” jelasnya.

Meski demikian, minimnya stimulus dari pemerintah dinilai akan membuka jalan bagi bank sentral AS untuk mengeluarkan paket stimulusnya. Hal tersebut juga ditambah dengan langkah yang dilakukan The Fed sejauh ini masih akomodatif terhadap harga komoditas.
 
Dalam simposium di Jackson Hole pada musim panas, Gubernur The Fed Jerome Powell menyatakan pihaknya akan menggunakan target rata-rata inflasi yang dapat melewati 2 persen tanpa harus mengubah kebijakannya.
 
“Hal ini berarti membiarkan inflasi naik hingga pasar tenaga kerja kembali menguat,” terangnya.
 
Kebijakan tersebut akan memicu pelemahan dolar AS serta menguatkan lawan dolar AS seperti mata uang lain dan emas. Kondisi-kondisi tersebut mengarah kepada skenario yang mendukung terjadinya reflationary trade.
 
“Harapan pelaku pasar akan paket stimulus moneter dari The Fed akan mendukung sentimen positif bagi emas dan mempertahankan reflationary trade yang melemahkan nilai dolar AS,” jelasnya.
 
Potensi paket stimulus fiskal yang mandek juga akan membuat The Fed merevisi kebijakannya dengan menerapkan suku bunga yang lebih rendah untuk menstimulasi perekonomian. Peluang ini pun menjadi katalis positif bagi harga emas. 
 
Wahyu mengatakan secara jangka panjang, potensi kenaikan harga emas masih terbuka. Selain kebijakan suku bunga rendah dan stimulus, harga emas juga akan diperkuat dengan pembelanjaan defisit yang akan dilakukan AS. 
 
"Selain itu, potensi kenaikan inflasi setelah pandemi virus corona usai juga akan memicu para investor untuk kembali ke aset emas," paparnya. 
 
Wahyu melanjutkan tren koreksi emas kemungkinan akan berlanjut dalam beberapa pekan ke depan. Namun, tren ini akan mengarah ke overbought dan memicu rebound harga emas.
 
Harga emas pada pekan ini dinilai masih berpeluang menguji level US$1.750 per troy ounce. Sementara itu, pergerakan emas pada pekan ini diperkirakan berada di kisaran US$1.700 hingga US$1.850 per troy ounce. 
 
"Untuk akhir tahun, kemungkinan harga emas bergerak di antara US$1.600 per troy ounce hingga US$2.000 per troy ounce," sebutnya. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper