“Kalau saya perhatikan di Indonesia, walaupun reksa dana campuran, tapi komposisi saham secara rata-rata lebih besar. Jadi, [reksa dana campuran] cenderung akan mengikuti performa saham daripada performa obligasi,” kata Rudiyanto kepada Bisnis, Selasa (28/8/2019).
Dirinya membenarkan bahwa positifnya kinerja reksa dana campuran sejauh ini turut ditopang oleh kinerja obligasi. Namun, kendati secara rata-rata kinerja reksa dana saham masih kalah ketimbang IHSG, tetap ada beberapa produk yang performanya outperform dari indeks.
Adapun, apabila IHSG tak mampu rebound hingga akhir tahun, kinerja reksa dana saham pun berpotensi kaah ketimbang kinerja reksa dana campuran.
“Tapi, kalau momentum suku bunganya dapat, pelonggaran likuiditas dari AS yang stop normalisasi itu berjalan, kemungkinan dia [reksa dana saham] bisa mengejar,” lanjut Rudiyanto.
Lebih lanjut, Rudiyanto menjelaskan, saat ini dampak positif dari pemangkasan suku bunga memang baru terasa di pasar surat utang dengan naiknya harga obligasi.
Sementara kinerja saham saat ini masih menunggu faktor likuiditas terutama dari pasar global. Baru-baru ini, Bank Sentral AS (Federal Reserve) menyampaikan bakal menghentikan normalisasi moneter, yang diperkirakan baru berjalan pada September atau Oktober.
“Likuiditas [global] juga masih ketat sampai Agustus ini. Kalau di Indonesia, memang sudah bagus [penurunan suku bunga], tapi kalau [kinerja] saham masih dipengaruhi oleh dana asing,” jelas Rudiyanto.
Apabila likuiditias global nantinya menjadi lebih longgar, kata Rudiyanto, reksa dana saham pun berkesempatan reli dan mengejar ketertinggalan dari reksa dana beraset dasar obligasi.
Panin Asset Management pun memperkirakan IHSG bakal melaju hingga 7.200—7.400 pada akhir tahun ini dengan pertimbangan tersebut. Adapun, suku bunga diprediksi bakal menyentuh 5,0% pada tahun depan dengan penurunan setidaknya sebanyak dua kali lagi.
Senada, Head of Investment Avrist Asset Management Farash Farich juga bullish untuk reksa dana saham menjelang akhir tahun dengan valuasi wajar IHSG ditargetkan menyentuh 6.900—7.000.
“Dari saham karena valuasi sudah murah akibat koreksi yang lebih banyak dibandingkan obligasi,” kata Farash.
Menurutnya, kondisi pasar saham saat ini memang lebih dipengaruhi sentimen eksternal non-fundamental.