Bisnis.com, JAKARTA – Menanggapi hasil pemilihan terpilihnya Boris Johnson sebagai perdana menteri Inggris, pound sterling bergerak melemah tipis melawan dolar AS.
Berdasarkan data Bloomberg, pada perdagangan Selasa (23/7/2019) hingga pukul 18.31 WIB, pound sterling bergerak melemah tipis 0,025 persen menjadi US$1,2475 per pound sterling.
Hal tersebut mencerminkan prediksi para analis terkait reaksi pound sterling yang tertekan laju bearish ketika terpilihnya Boris Johnson sebagai pemimpin Partai Konservatif menggantikan Theresa May.
Analis PT Bestprofit Futures Agus Prasetyo mengatakan bahwa terpilihnya Boris Johnson meningkatkan peluang Inggris untuk keluar dari Uni Eropa tanpa kesepakatan apapun.
“Sentimen tersebut berdampak pada penurunan pound sterling lebih lanjut,” ujar Agus kepada Bisnis, Selasa (23/7/2019).
Selain itu pengunduran diri Menteri Kantor luar negeri Inggris Sir Alan Duncan pada Senin (22/07) serta laporan yang menunjukkan bahwa Menteri Keuangan Inggris, Philip Hammond, siap untuk mengundurkan diri jika Boris Johnson menjadi PM Inggris semakin menambah pesimisme dan tekanan terhadap pound sterling.
Tidak hanya kedua menteri tersebut, Menteri Keadilan Inggris David Gauke juga mengatakan akan mengundurkan diri jika Boris Johnson terpilih menjadi perdana menteri Inggris.
Sentimen yang sudah lebih lemah di sekitar pound sterling semakin memburuk setelah lembaga think tank NIESR mengatakan terdapat 40 persen peluang Brexit tanpa kesepakatan akan terjadi dan sekitar 25 persen peluang bahwa negara tersebut sudah berada dalam resesi teknis.
Agus mengatakan, secara umum pasangan mata uang GBP/ USD masih berpotensi untuk bergerak turun jangka pendek pada perdagangan Rabu (24/7/2019).
Dia memperkirakan level support pound sterling berada di kisaran US$1,2423, US$1,2404 , dan US$1,2357 per pound sterling. Sementara itu, level resisten pound sterling berada di level US$1,2470, US$1,2498, dan US$1,2545 per pound sterling.
KONFLIK DENGAN IRAN
Di sisi lain, pelaku pasar juga bakal memperhatikan bagaimana langkah Perdana Menteri Inggris yang baru dalam menghadapi eskalasi konflik dengan Iran.
Sebagai informasi, militer Iran menahan sebuah kapal tanker minyak berbendera Inggris di Selat Hormuz pada akhir pekan, sehingga hal tersebut meningkatkan tensi ketegangan kedua negara.
Senada dengan Agus, Kepala Riset dan Edukasi PT Monex Investindo Futures Ariston Tjendra juga mengatakan bahwa pound sterling masih akan berada dalam tekanan bearish akibat kekhawatiran pasar terpilihnya Boris Johnson menjadi perdana menteri Inggris menggantikan Theresa May.
“Boris adalah kandidat terkuat, pendukung hard Brexit. Beliau lebih memilih agar Inggris segera keluar dari Uni Eropa dengan atau tanpa kesepakatan,” ujar Ariston kepada Bisnis, Selasa (23/7/2019).
Dia mengatakan, pound sterling saat ini berpotensi menuju level supportnya di US$1,238 per pound sterling. Padahal, Ariston mengatakan jika Jeremy Hunt yang terpilih menjadi PM Inggris, pound sterling berpotensi menguat sementara dengan level resisten di US$1,2560 per pound sterling.
Mengutip Bloomberg, pound sterling saat ini sangat rentan terhadap pelemahan lebih lanjut, tidak peduli siapapun yang akan menggantikan Theresa May.
RISIKO TERBESAR
Ahli Strategi Nomura International Jordan Rochester mengatakan bahwa no-deal Brexit adalah risiko terbesar bagi ekonomi Inggris dan tentu saja akan membuat pound sterling diproyeksi mencetak posisi terendah terbaru.
"Kendati demikian, kami tidak mengharapkan pasar untuk menetapkan premi Brexit yang lebih tinggi daripada sebelumnya sampai Parlemen kembali setelah liburan musim panas pada September mendatang,” ujar Jordan seperti dikutip dari Bloomberg.
Kurangnya kejelasan terkait Brexit yang berkelanjutan mampu membawa pound sterling diprediksi bergerak di bawah US$1,2 per pound sterling atau bahkan berpotensi mendekati US$1,1 per pound sterling.
Namun, di tengah banyaknya sentimen negatif terhadap pemilihan perdana menteri Inggris, terdapat optimisme di pasar bahwa perdana menteri baru mungkin akan memperoleh kesepakatan dari Uni Eropa yang gagal didapatkan oleh Theresa May.
Skenario tersebut dapat membawa pound sterling bergerak di atas US$1,3 pound sterling hingga US$1,4 per pound sterling.
KE TITIK TERENDAH
Sementara itu, Ahli Strategi Mata Uang BNY Mellon Neil Mellor mengatakan bahwa hard-Brexit dapat meningkatkan prospek pound sterling menyentuh titik terendahnya seperti saat referendum Uni Eropa Oktober 2016, yaitu menyentuh US$1,15 per pound sterling.
“Jelas masalah yang dihadapi Inggris saat ini belum pernah dihadapi dalam dekade terakhir ini, bahkan selama krisis keuangan global, dan potensi pound sterling mencapai posisi terendah 2016 semakin besar,” ujar Neil seperti dikutip dari Bloomberg.
Adapun, sepanjang tahun berjalan, pound sterling telah bergerak melemah .... melawan dolar AS. Perusahaan Keuangan Morgan Stanley mengatakan pound sterling sudah menjadi mata uang utama yang berkinerja terburuk terhadap dolar pada tahun ini dan memprediksi adanya penurunan yang lebih lanjut.
DOLAR MENGUAT
Terlepas dari berita utama terkait politik dan Brexit di Inggris, perkembangan positif seputar kesepakatan perdagangan AS-China terus mendorong dolar AS menguat dan memberikan tekanan terhadap pound sterling lebih lanjut.
Hal tersebut ditambah dengan imbal hasil Treasury AS yang melonjak setelah Presiden Donald Trump mengumumkan kesepakatan bipartisan untuk menangguhkan plafon utang AS.
Tercatat, indeks dolar AS yang mengukur kekuatan greenback di hadapan sekeranjang mata uang mayor lainya bergerak menguat 0,28 persen menjadi 97,533.