Bisnis.com, JAKARTA — Pergeseran sumber pendapatan iklan industri media dari free-to-air (FTA) ke internet kian mendekat. Hal itu pun krusial bagi emiten media karena perseroan harus mampu mengambil pembagian di ruang digital, yang mana diperkirakan berkontribusi sekitar 30% terhadap total pendapatan iklan pada 2022.
Analis CLSA Steven Ho menjelaskan bahwa iklan kreatif, perusahaan rintisan teknologi, dan produk fast moving consumer good (FMCG) akan masih bakal menjadi pendorong pendapatan dari sisi FTA.
“Namun, trayektori [pendapatan dari FTA] ke depan akan sulit,” tulis Steven dalam riset terbarunya yang dikutip pada Senin (8/7/2019).
Menurutnya, pendapatan perusahaan televisi akan mencatakan pertumbuhan compound annual growth rate (CAGR) sebesar 21% pada periode 2016—2022. Namun, iklan digital diperkirakan akan memacu kontribusi FTA terhadap pendapatan emiten media.
PT Surya Citra Media Tbk. (SCMA) yang memiliki kapasitas rumah produksi dan kemampuan untuk memaksimalkan konten lokal yang kuat diperkirakan Steven bakal mampu mencetak pertumbuhan CAGR hingga dua digit selama periode 2019—2021.
Pasalnya, pemain layer kedua diperkirakan akan terpukul lebih dulu oleh pergeseran tren pemasukan industri media tersebut. Sementara itu, SMCA yang menjadi pemain dominan dalam hal pangsa pasar diperkirakan masih akan bertahan.
“Dengan yield aliran kas sebesar 6%, bisnis FTA dari SCMA akan terus menjadi sumber pendapatan yang dapat mendanai inisiasi pertumbuhan digital yang lebih tinggi,” tulis Steven.
Adapun, SCMA menempatkan sumber dayanya dibalik vidio.com, yang diakuisisi perseroan dari PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) pada Mei 2019. SCMA berencana membentuk konten eksklusif bernilai Rp250 miliar—Rp300 miliar, menggunakan perpaduan model bisnis subscription video on demand (SVOD).
Menurut Steven, hal itu merupakan pilihan yang berisiko karena bakal sulit dieksekusi dan memerlukan investasi besar untuk konten eksklusif, namun memiliki potensi upside yang besar.
“Kami tetap memberikan rekomendasi overperformed [untuk SCMA] dengan target harga Rp1.790 berbasis SOTP,” kata Steven.
Selanjutnya, risiko untuk SCMA dinilai masih datang dari sentimen negatif makroekonomi, pelemahan mata uang rupiah, dan meningkatnya anggaran dasar yang dapat mempengaruhi belanja perseroan.
Analis Ciptadana Sekuritas Gani menambahkan, sinetron-sinetron yang ditayangkan SCTV masih mempertahankan rating siaran yang solid seperti “Cinta Suci”, “Cinta Buta”, dan “Orang Ketiga”.
Tercatat, pangsa audiens dari tayangan SCMA sebesar 31,1% pada Juni 2019. Walaupun pangsa audiens pada jam tayang utama menurun menjadi 30,5% secara bulanan, pangsa audiens pada jam tayang nonutama justru meningkat sebesar 80bps.
“Kendati terjadi penurunan [pangsa audiens], kami percaya pendapatan iklan pada kuartal II/2019 masih akan mampu tumbuh high single digit didorong oleh promosi perusahaan teknologi,” tulis Gani melalui risetnya.
Sebelumnya, SCMA telah memproduksi acara untuk Lazada yang disiarkan di SCT dan aplikasi Lazada. Selain itu, perseroan juga menyelenggarakan acara marketing untuk Bukalapak dan Tokopedia yang ditayangkan di beberapa saluran, termasuk SCTV.
Dengan prospek pendapatan iklan perseroan masih kuat, ditambah dengan iklan dari produk konsumer pada kuartal II/2019, Gani tetap merekomendasikan beli untuk SCMA dengan target harga Rp1.975.
Di lantai bursa, SCMA ditutup melemah 0,94% ke level Rp1.580 dengan kapitalisasi pasar Rp23,33 triliun. Sejak awal tahun, SCMA turun 15,51%.