Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

PROYEKSI 2019: Indeks Bisnis-27 Berpotensi Rebound

Kinerja Indeks Bisnis-27 sepanjang tahun ini dapat kembali berbalik positif setelah pelemahan melanda pasar modal secara umum tahun lalu,  seiring ekspektasi peningkatan kinerja konstituennya serta kembalinya konsentrasi investor global menuju negara berkembang.
Pengunjung beraktivitas di samping papan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), di Jakarta, Senin (17/12/2018)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan
Pengunjung beraktivitas di samping papan pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), di Jakarta, Senin (17/12/2018)./Bisnis-Felix Jody Kinarwan

Bisnis.com, JAKARTA—Kinerja Indeks Bisnis-27 sepanjang tahun ini dapat kembali berbalik positif setelah pelemahan melanda pasar modal secara umum tahun lalu,  seiring dengan ekspektasi peningkatan kinerja konstituennya serta kembalinya konsentrasi investor global menuju negara berkembang.

Hingga akhir tahun 2018, indeks Bisnis-27 ditutup di level 553,71 atau mengalami pelemahan 4,18% dibandingkan posisi penutupan pada akhir tahun 2017 yang sebesar 577.869. Sepanjang 2018, Indeks Bisnis-27 sempat penyentuh posisi tertinggi di level 611,48 pada Selasa (23/1) dan posisi terendah 482,08 pada Kamis (28/6).

Anida ul Masruroh, analis Bisnis Indonesia Resources Center, mengatakan bahwa pelemahan kinerja pasar modal negara berkembang, termasuk Indonesia, sudah mencapai dasarnya pada tahun lalu akibat tingginya volatilitas dan ketidakpastian di pasar global.

Namun, tahun 2019 pasar modal Indonesia akan diuntungkan oleh sejumlah faktor. Anida memperkirakan bahwa mesin perekonomian Amerika Serikat akan melambat pada 2019. Dampak dari relaksasi pajak Trump sudah tidak akan lagi signifikan.

Selain itu, ketegangan perang dagang akan membayangi kinerja perekonomian AS, sehingga justru menggerus kompensasi manfaat dari penerapan pemangkasan pajak. Ketegangan ini akan merambat pada negara mitra dagang lainnya sehingga berpotensi mengoreksi pertumbuhan ekonomi global.

Bila demikian, probabilitas The Fed untuk hawkish pada 2019 akan menurun. Kondisi ini akan memberikan ruang pelonggaran bagi bank sentral di negara berkembang untuk cenderung lebih akomodatif.

Secara umum, kondisi ini akan menahan laju kenaikan Dollar Index yang selama ini cukup menekan kinerja kurs rupiah. Meskipun ketidakpastian global masih akan membayangi, tetapi arah kebijakan The Fed dan beberapa indikator ekonomi AS yang dirilis menunjukkan pertumbuhan ekonomi berada di level moderat.

“Perkembangan data ini cukup memberikan sinyal pada investor untuk menjadikan Indonesia sebagai salah satu emerging market yang paling menarik untuk berinvestasi dengan tingkat capital gain yang relatif masih cukup tinggi dibandingkan emerging market lainnya,” katanya pekan lalu.

Di sisi lain, sejumlah sektor dari konstituen indeks Bisnis-27 memiliki potensi untuk mencatatkan kinerja yang membaik tahun depan. Sektor-sektor yang diperkirakan menjadi motor penggerak laju Indeks Bisnis-27 yaitu sektor konsumsi, finansial, serta industri dasar dan kimia.

Sektor konsumsi antara lain INDF, ICBP, dan MYOR, lalu di sektor finansial yakni BBCA, BMRI, BBRI, dan BBNI. Sementara itu, industri dasar dan kimia mencakup TPIA, CPIN, TKIM, dan INKP. Termasuk juga di dalamnya yakni sektor semen seperti INTP dan SMGR.

Selain bobotnya yang mendominasi Indeks Bisnis-27, emiten-emiten terpilih di sektor ini memiliki earning growth yang diperkirakan berpotensi meningkat pada tahun depan serta didukung fundamental yang masih kokoh.

Sektor konsumsi akan didukung oleh momentum pilpres 2019. Sementara itu, arah kebijakan suku bunga yang lebih stabil diperkirakan turut mengamankan saham-saham emiten finansial dari koreksi tajam seperti tahun 2018.

Sektor industri dasar dan kimia diperkirakan masih akan kembali bergairah, meskipun ada kemungkinan sedikit koreksi pada kinerja emiten subsektor semen akibat oversupply yang menekan bottom line.

Anida memperkirakan, investor akan kembali memanfaatkan momentum January effect untuk melakukan aksi beli saham yang cukup selektif. Ini menjadi fase penguatan lanjutan dari momentum window dressing.

“Meskipun demikian, penguatannya akan terbatas dengan adanya sentimen dari domestik yaitu masih lebarnya defisit neraca perdagangan.  Sementara sentimen dari eksternal masih tentang perkembangan upaya AS dengan China untuk mencapai kesepakatan dagang terbaru juga akan menjadi perhatian investor,” katanya.

Reza Priyambada, Senior Analyst CSA Research Institute, memperkirakan bahwa sektor perbankan masih akan menjadi pilihan pelaku pasar pada 2019. Saham 4 emiten bank blue chip masih menjadi sorotan, terutama karena pertumbuhan kredit mereka yang cukup positif.

Investor perlu memperhatikan tingkat NPL mereka setelah kenaikan suku bunga yang signifikan pada 2018.

“Ini bisa menjadi peluang bagi investor bila bank tidak mengalami masalah. Value company atau harga sahamnya masih berpotensi untuk kembali meningkat,” katanya.

Reza juga menilai saham sektor telekomunikasi seperti TLKM serta saham media seperti SCMA memiliki prospek positif, masing-masing dari peningkatan kebutuhan layanan data serta meningkatnya pemasangan iklan di media selama pilpres.

Sementara itu, sektor kertas seperti TKIM dan INKP ditopang oleh meningkatnya konsumsi kertas dunia, sedangkan TPIA masih memiliki rencana ekspansi yang cukup agresif beberapa tahun ke depan.

Alfred Nainggolan, Kepala Riset Koneksi Capital, sepakat bahwa sektor perbankan masih memiliki ruang pertumbuhan yang besar pada 2019. Beberpa bank sudah memproyeksikan tingkat pertumbuhan kredit antara 12% - 15% pada 2019.

“Kita melihat kenaikan suku bunga tidak begitu banyak mengkhawatirkan. Kepercayaan diri pasar ini yang penting. Tahun 2019 akan menjadi proses pemulihan bagi bank,” katanya.

Frederik Rasali, Vice President Research Artha Sekuritas, mengatakan bahwa sektor tambang, khususnya batubara, akan sangat ditentukan oleh peningkatan volume penjualan pada 2019, sebab kenaikan harga sudah terbatas.

ADRO akan memiliki prospek paling menjanjikan karena tingginya pendapatan dari coking coal yang tidak terpengaruh oleh permintaan China, sedangkan ITMG yang mayoritas memproduksi thermal coal akan bergantung pada peningkatan volume. Sementara itu, PTBA akan ditopang oleh masih tingginya permintaan domestik, tetapi harga sahamnya sudah naik cukup tinggi.

Frederik menyarankan lebih selektif pada sektor konsumsi, sebab harga bahan baku sedang tinggi. Dirinya belum terlalu optimistis pada kinerja INDF dan ICBP tahun ini. Meskipun ada peningkatan permintaan, tetapi tidak mampu mengimbangi penurunan margin karena peningkatan biaya produksi.

Sementara itu, kenaikan harga yang sudah cukup tinggi pada sektor kertas kemungkinan menyebabkan laju kenaikan tahun ini terbatas.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Editor : Riendy Astria
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper