Bisnis.com, JAKARTA — Emiten pertambangan batu bara PT Adaro Energy Tbk. (ADRO) membukukan laba inti senilai US$526 juta per September 2018, naik 6% year-on-year (yoy) seiring dengan peningkatan kinerja operasional.
Per September 2018, ADRO mencatatkan pendapatan usaha sejumlah US$2,66 miliar. Nilai itu naik 9,35% yoy dari sebelumnya US$2,44 miliar.
Bisnis pertambangan dan perdagangan batu bara berkontribusi 92,54% dari total pendapatan atau sejumlah US$2,47 miliar. Pasar ekspor berkontribusi US$2,04 miliar, sedangkan pasar domestik US$633,73 juta.
Presiden Direktur Adaro Energy Garibaldi Thohir menyampaikan, EBITDA operasional perusahaan per September 2018 naik 5% yoy menjadi US$1,06 miliar dari sebelumnya US$1 miliar. Sampai akhir tahun ini, perusahaan mempertahankan EBITDA operasional di kisaran antara US$1,1 miliar—US$1,3 miliar.
“Kenaikan EBITDA operasional dan laba inti per September 2018 secara yoy merupakan hasil kinerja solid di seluruh pilar bisnis perusahaan. Selain itu, volume produksi batu bara pada kuartal III/2018 meningkat 14% dari kuartal sebelumnya,” paparnya dalam siaran pers, Rabu (31/10/2018).
Boy menyebutkan, laba inti ialah laba yang tidak termasuk biaya transaksi transisi nonoperasional yang hanya timbul satu kali terkait akuisisi Kestrel, dan tidak mencakup komponen operasional setelah pajak.
Kenaikan produksi didukung oleh kondisi cuaca yang lebih baik. Oleh karena itu, perusahaan berupaya mengejar panduan target produksi batu bara pada 2018 sejumlah 54 juta—56 juta ton.
Sampai dengan kuartal III/2018, perusahaan memproduksi batu bara sejumlah 38,98 juta ton, turun 1% yoy dari sebelumnya 39,36 juta ton. Adapun, volume penjualan dalam periode yang sama menurun tipis menjadi 39,27 juta ton dari posisi per September 2017 sebesar 39,44 juta ton.
Sementara itu, laba bersih Adaro pada periode 9 bulan pertama 2018 mencapai US$312,71 juta. Nilai itu menurun 16,04% yoy dari sebelumnya US$372,45 juta.
Per September 2018, beban pokok pendapatan naik menjadi US$1,78 miliar dari sebelumnya US$1,58 miliar. Laba bruto pun terkoreksi menuju US$878,55 juta dari posisi per September 2018 sebesar US$859,43 juta.
Boy menyebutkan, kenaikan beban pokok disebabkan peningkatan biaya penambangan seiring dengan penambahan volume pengupasan lapisan penutup. Selain itu, harga bahan bakar minyak memanas, dan pembayaran royalti ke pemerintah meningkat karena kenaikan harga jual rata-rata.
“Untuk mengelola risiko fluktuasi bahan bakar, Adaro telah melakukan lindung nilai sekitar 20% dari total kebutuhan 2018 di harga yang lebih rendah dari anggaran,” tuturnya.
Liabilitas perseroan per September 2018 naik menjadi US$2,85 miliar dari akhir 2017 sebesar US$2,72 miliar. Liabilitas jangka pendek meningkat menuju US$929,63 juta dari sebelumnya US$773,30 juta.
Ekuitas perusahaan meningkat menjadi US$4,30 miliar dari per Desember 2017 senilai US$4,09 miliar. Total aset ADRO per Juni 2018 meningkat menuju US$7,15 miliar dari akhir tahun lalu sejumlah US$6,81 miliar.
Boy menambahkan, perusahaan JV Adaro merampung akuisisi tambang Kestrel, Australia, pada awal Agustus 2018. Tambang yang memproduksi hard cooking coal ini memproduksi batu bara sejumlah 1,09 juta ton pada Agustus—September 2018, dan menjual 780.000 ton dalam periode yang sama.
“Pencapaian ini relatif stabil secara yoy karena perusahan mengikuti rencana Kestrel yang ditetapkan awal 2018.”