Bisnis.com, JAKARTA -- Chief Market Strategist Forex Time (FXTM) Hussein Sayed menuturkan bahwa mata uang rupiah akan tetap mengalami tekanan seiring dengan krisis Turki yang berisiko pada ekonomi global.
"Rupiah merosot karena krisis Turki berisiko meluas. Sepertinya akan tetap tertekan karena selera risiko investor yang rendah dan dolar yang menguat secara umum," tuturnya dalam keterangan rilis yang diterima Bisnis, Selasa (14/8/2018).
Rupiah telah merosot ke level yang tidak pernah tersentuh sejak Oktober 2015 di atas Rp14.600 per dolar AS.
Kendati demikian, mata uang garuda tercatat mampu bergerak menguat 24 poin atau 0,16% di level Rp14.584 per dolar AS seiring dengan pergerakan IHSG pada penutupan perdagangan Selasa (14/8/2018).
Sayed menjelaskan bahwa rupiah menghadapi tekanan jual yang tinggi karena krisis ekonomi di Turki mengganggu sentimen global dan menciptakan kondisi risk-off.
Karena itu, Bank Indonesia mungkin mempertimbangkan untuk meningkatkan suku bunga guna mendukung rupiah.
"Dari aspek teknis, USDIDR mempunyai ruang untuk menyerang Rp14.700 di jangka pendek karena situasi risk-off yang dipicu krisis Turki mengurangi minat terhadap aset pasar berkembang," ujarnya.
Krisis Turki Meluas
Lira Turki terus melemah di awal Senin, (13/8/2018) mencapai rekor terendah baru yaitu 7,21 per Dolar sebelum sedikit pulih pada sesi perdagangan Asia.
Komentar dari Presiden Recep Tayyip Erdogan dan Menteri Keuangan Berat Albayrak di akhir pekan bahwa pemerintah akan mengumumkan rencana hari ini untuk menenangkan pasar tidak berhasil membangkitkan kepercayaan.
Inflasi diprediksi akan berada di atas 20%, defisit transaksi berjalan terus melebar, dan imbal hasil obligasi mencapai rekor tertinggi, serta ketegangan politik dengan AS semakin memburuk sehingga pemerintah Turki tidak memiliki banyak pilihan untuk menghentikan Lira yang terus terperosok.
"Investor harus melihat tindakan ekonomi yang serius, bukan bersifat politis, agar situasi tidak menjadi sepenuhnya di luar kendali," ungkap Sayed.
Langkah ini termasuk kenaikan darurat suku bunga oleh bank sentral, menerapkan kontrol modal, reformasi fiskal, meminta paket penyelamatan dari IMF atau pemberi pinjaman lain, dan mengakhiri ketegangan diplomatis dengan Donald Trump. Apabila langkah-langkah ini tidak diambil, investor akan terus menjual aset Turki.
Sentimen risk-off menyebar ke berbagai pasar lain. Rand Afrika Selatan merosot lebih dari 10% di awal hari Senin, mencapai level terendah dua tahun yaitu 15.32 per Dolar. Peso Argentina dan Rubel Rusia termasuk mata uang pasar berkembang yang merosot paling drastis.
Euro tergelincir ke bawah 1.14 terhadap Dolar di saat investor mencoba untuk menimbang kekacauan yang dapat diakibatkan Turki terhadap perbankan Eropa. Bank Spanyol, Prancis, dan Italia memiliki eksposur besar terhadap utang Turki.
Pasar saham Asia juga terhantam. Indeks Nikkei, KOSPI, Shanghai, dan Hong Kong merosot lebih dari 1.6%. Investor mungkin akan melihat reaksi yang sama saat pasar Eropa dibuka hari ini, dan bank akan terpukul paling parah.
Dolar diuntungkan oleh gejolak pasar berkembang sehingga mencapai level tertinggi satu tahun yaitu 96.50.
Hal yang juga mendukung Dolar adalah data ekonomi yang menunjukkan bahwa IHK inti mencatat pertumbuhan terbesar dalam satu dekade, meningkat 2,4% dibandingkan tahun lalu.
Federal Reserve mungkin tak punya pilihan selain terus memperketat kebijakan dengan dua kenaikan suku bunga lagi tahun ini yang menyebabkan divergensi kebijakan moneter yang lebih lebar.
Dolar yang menguat menyebabkan posisi AS lebih lemah di perang dagang dan investor bertanya-tanya apakah Trump akan kembali berupaya untuk memperlemah dolar.