Bisnis.com, JAKARTA – Emiten maskapai penerbangan, PT Garuda Indonesia (Persero) Tbk. membukukan kerugian bersih sebesar US$64,3 juta pada periode Januari—Maret 2018. Kerugian tersebut mengecil sebesar 36,5% dibandingkan capaian perseroan pada kuartal I/2017 yang sebesar US$101,2 juta.
Berdasarkan laporan keuangan yang dipaparkan direksi pada Kamis (3/5/2018), pendapatan emiten maskapai pelat merah tersebut meningkat 7,9% pada kuartal I/2018 menjadi US$983 juta dibandingkan sebelumnya (yoy) yang sebesar US$910,8 juta.
Direktur Utama Garuda Indonesia Pahala N. Mansury mengungkapkan, perseroan dapat membukukan kerugian yang mengecil signifikan karena perseroan mampu meningkatkan pendapatan, simultan melakukan efisiensi pada biaya yang dikeluarkan perseroan.
“Penerbangan domestik kami sangat membaik, baik dari sisi load factor maupun penurunan cost. Untuk penerbangan internasional memang masih harus diperbaiki. Kami menilai kinerja kuartal I sudah on track dan kami harap dapat mendorong perusahaan untuk membukukan laba pada tahun ini,” ungkap Pahala di Jakarta, Kamis (3/5/2018).
Emiten dengan kode saham GIAA tersebut mencatat perbaikan sejumlah indikator seperti utilisasi yang mencapai 9 jam 41 menit atau meningkat 22 menit, pendapatan dari sisi penumpang meningkat 2,5% menjadi US$741,6 juta, sedangkan average fares turun 2,5% menjadi US$83,9 sen.
Berdasarkan lapkeu perseroan, operational expense perseroan pada kuartal I/2018 meningkat 2,5% menjadi US$1 miliar, didorong terutama kenaikan biaya bahan bakar sebesar 8,1%. Kendati demikian, Pahala menyebut kenaikan biaya tersebut dapat terkompensasi dari kenaikan pendapatan yang lebih tinggi yaitu 7,9% (yoy).
“Peningkatan harga fuel akan melandai, ke depannya akan lebih stabil seperti yang sudah terlihat dalam 2 bulan terakhir,” ungkap Pahala.
Pahala menjelaskan pada kuartal I, siklus kinerja maskapai memang lesu karena tidak berbenturan dengan momentum khusus. Selain bertumpu pada penumpang Garuda Indonesia, perseroan juga menggenjot pendapatan dari anak usaha.