Bisnis.com, JAKARTA – Harga seng mengalami pelemahan berhari-hari dipicu oleh informasi kondisi meningkatnya persediaan di China.
Pada penutupan perdagangan Senin (5/3), harga seng di London Metal Exchange (LME) melemah 59 poin atau 1,76% menjadi US$3.296 per ton, pelemahan 5 sesi berturut—turut. Harga logam dasar ini telah berbalik melemah dari level tertinggi 5 tahun sebesar US$3.575 per ton yang dicapai pada 16 Februari 2018.
Pasar seng terpantau mengalami lonjakan lebih dari 60% selama 5 tahun terakhir lantaran stok di LME menyusut lebih dari 80% sehingga mendorong melejitnya harga.
Namun pada Senin (5/3), harga tercatat jatuh 8% dari puncaknya pada pertengahan Februari lantaran data LME menunjukkan adanya kenaikan persediaan terbesar dalam hampir 3 dekade.
Menurut analis senior Vivienne Lloyd dari Macquarie, pelemahan harga seng yang terjadi pada beberapa sesi perdagangan akhir-akhir ini disebabkan oleh tanda-tanda pasokan yang meningkat di China, produsen sekaligus konsumen seng terbesar di dunia.
“Seng telah berada di bawah tekanan setelah lonjakan impor seng ke China pada Januari, terutama dari Australia,” kata Lloyd, seperti dilansir Bloomberg, Selasa (6/3/2018).
Baca Juga
Marex Spectron, sebuah pialang komoditas terkemuka menuturkan, pasar seng sangat ketat dalam beberapa bulan terakhir, yang artinya sulit bagi pemasok untuk mengakses logam dan seringkali mengalami ‘keterbelakangan’, sebuah kondisi ketika kontrak spot diperdagangkan di atas harga futures.
“Dalam waktu dekat, harga perlu mendapatkan beberapa dukungan untuk bergerak sekitar US$3.300 per ton,” ujar Marex Spectron, seperti dilansir Bloomberg.
Menambahkan, Lloyd berpikiran bahwa ada dorongan yang cukup kuat bagi harga seng dalam waktu dekat ini yang ditopang oleh adanya pemasangan baja galvanis di China pada akhir Maret, sehingga permintaan menguat dan berimbas pada harga.