Bisnis.com, JAKARTA - Harga minyak melanjutkan peningkatan setelah Organisasi Negara-negara Pengekspor Minyak (OPEC) dan sejumlah produsen minyak utama lainnya menyepakati penambahan pemangkasan produksi sampai akhir 2018 pada Kamis (30/11/2017).
Dengan perkembangan sedemikian, harga West Texas Intermediate (WTI), harga acuan minyak AS, berpeluang ke US$60 per barel.
Pada perdagangan Jumat (1/12/2017) pukul 19.00 WIB, harga minyak WTI kontrak teraktif Januari 2018 meningkat 0,41 poin atau 0,71% menjadi US$57,81 per barel. Dalam waktu yang sama, minyak Brent kontrak teraktif Februari 2018 memanas 0,53 poin atau 0,85% menuju US$63,16 per barel.
Golman Sachs dalam laporannya menyebutkan, Organization of the Petroleum Exporting Countries (OPEC) dan sejumlah negara non-OPEC termasuk Rusia pada Kamis (30/12/2017) telah sepakat memperpanjang masa pemangkasan produksi sampai dengan akhir 2018.
Sebelumnya, pengurangan suplai baru sebesar 1,8 juta barel per hari (bph) dilakukan pada Januari 2017-Maret 2018.
Keputusan tersebut membuat harga minyak memanas 2 hari beruntun. Namun demikian, OPEC dan non-OPEC memberi sinyal akan menghentikan kesepakatan jika harga minyak naik terlalu jauh.
Menurut tim analis Goldman, perpanjangan masa pemangkasan produksi yang disuarakan sejak jauh-jauh lama bertujuan mengatasi persediaan minyak global sekaligus meningkatkan harga. Sayangnya, sentimen ini sudah diantisipasi pasar sejak awal November 2017.
"Para trader telah melakukan pembelian sepanjang November karena mengantisipasi adanya pengambilan keputusan soal perpanjangan pemangkasan produksi dalam rapat OPEC pada tanggal 30 November 2017," papar laporan Goldman pada Jumat (1/12/2017).
Alhasil, pada bulan ke-11 tahun ini, harga Brent naik 3,6% dan WTI memanas 5,6%. Kondisi tersebut membalikkan posisi harga minyak yang cenderung lesu sejak awal 2017.
Kesepakatan OPEC dan non-OPEC memang membuahkan hasil. Pasalnya, hampir 50% surplus minyak global dalam setahun terakhir berhasil dipangkas.
Oleh karena itu, sambung Goldman, harga WTI dapat kembali menembus level US$60 per barel. Hal ini tentunya menjadi kabar baik karena pada Januari dan Februari 2016, harga sempat mencapai posisi US$27 per barel, atau lebel terendah dalam 12 tahun terakhir.