Bisnis.com, JAKARTA—Harga bijih besi melesu seiring dengan proyeksi bertumbuhnya pasokan yang lebih cepat dibandingkan volume permintaan.
Pada perdagangan Jumat (30/6/2017) pukul 9.30 WIB harga bijih besi kadar 62% di bursa Dalian kontrak September 2017 merosot 0,53% atau 2,50 poin menjadi 468,50 yuan (US$63,31) per ton. Harga terkoreksi setelah naik 4 sesi berturut-turut.
Sepanjang tahun tahun berjalan harga melemah 7,86%. Tahun lalu, harga bijh besi melonjak 84,18% year on year (yoy) menjadi 652 yuan (US$93,95) per ton.
Lonjakan harga pada 2016 terjadi karena dukungan stimulus pemerintah China terhadap produksi baja yang menaikkan sisi konsumsi. Negeri Panda menyerap sepertiga suplai bijih besi global dan memasok sekitar 50% baja di dunia, sehingga kinerjanya sangat berpengaruh terhadap pasar komoditas tersebut.
Shanghai Cifco Futures dalam risetnya menyampaikan harga bijih besi tertekan karena kenaikan pasokan. Dalam jangka panjang, jumlah stok akan melambung.
“Pengiriman akan lebih banyak nantinya. Dari sini, harga bergantung kepada konsumsi di hilir,” paparnya seperti dikutip dari Bloomberg, Jumat (30/6/2017).
Jika marjin keuangan perusahaan produsen baja terjaga, permintaan bijih besi bisa saja meningkat. Namun, pasar diperkirakan masih mengalami kondisi surplus suplai.
Macquarie Group Ltd. memprediksi harga bijih besi berpotensi merosot ke bawah US$50 per ton pada semester II/2017. Sentimen utama yang menekan harga ialah prospek pertumbuhan suprlus suplai.
Citigroup Inc., menyampaikan pasar bijih besi mengalami periode bearish akibat kekhawatiran jumlah pasokan yang tidak seimbang dengan permintaan. Surplus bijih besi global pada 2016 diperkirakan mencapai 70 juta ton dan berpeluang bertambah menjadi 90 juta ton pada tahun ini.
Berlebihnya suplai berasal dari sejumlah negara produsen utama seperti Brasil, Australia, China, dan India. Oleh karena itu, tren harga diperkirakan terus merosot sampai akhir tahun ayam api.