Bisnis.com, JAKARTA—Harga bijih besi menguat dalam 4 sesi berturut-turut seiring dengan proyeksi pertumbuhan permintaan China.
Pada perdagangan Kamis (29/6/2017) pukul 9.53 WIB, harga bijih besi kadar 62% di bursa Dalian kontrak September 2017 meningkat 3,61% atau 16,50 poin menjadi 473 yuan (US$65,84) per ton.
Sepanjang tahun berjalan, harga melemah 6,50%. Tahun lalu, harga bijh besi melonjak 84,18% year on year (yoy) menjadi 652 yuan (US$93,95) per ton.
Lonjakan harga pada 2016 terjadi karena dukungan stimulus pemerintah China terhadap produksi baja yang menaikkan sisi konsumsi. China menyerap sepertiga suplai bijih besi global dan memasok sekitar 50% baja di dunia sehingga kinerjanya sangat berpengaruh terhadap pasar komoditas tersebut.
Analis Sinosteel Futures Fan Lu mengatakan harga bijih besi meningkat karena pabrik pengolahan secara aktif melakukan pembelian dengan berfokus kepada bahan yang berkualitas tinggi.
“Hal ini membuat stok di pelabuhan kian berkurang, meskipun baru sedikit,” ujarnya seperti dikutip dari Bloomberg, Kamis (29/6/2017).
Sementara itu, analis Citigroup Inc termasuk Tracy Liao dalam risetnya menyampaikan titik nadir harga bijih besi dapat terealisasi dalam 6 bulan sampai dengan 8 bulan ke depan. Pada kuartal III/2017, harga bahan baku baja ini bakal menuju US$51 per ton, turun dari proyeksi sebelumnya senilai US$64 per ton.
Nilai jual dapat semakin tertekan menuju US$48 per ton pada kuartal terakhir tahun ini. Proyeksi tersebut jatuh dari estimasi sebelumnya sebesar US$60 per ton.
“Kami memperkirakan lebih banyak risiko penurunan pada harga bijih besi setelah melewati puncak permintaan. Pada semester kedua harga akan semakin tertekan,” papar riset.
Citigroup menyampaikan ketika harga sedang mengalami tren menurun, pasokan global tetap saja meningkat. Hal ini menyebabkan surplus suplai bijih besi membengkak hingga 118 juta ton pada 2017, naik dari 2016 sebesar 60 juta ton.
Penambahan suplai berasal dari proyek S11D di Brasil milik Vale SA dan penggenjotan penambangan Roy Hill Holdings Pty Australia. Kedua proyek tersebut menyumbang sekitar 60 juta ton tambahan pasokan pada tahun ini.