Bisnis.com, JAKARTA--Harga bijih besi lanjutkan penurunan seiring dengan proyeksi suprlus pasokan global dan perlambatan permintaan bahan baku baja dari China.
Pada penutupan perdagangan Rabu (19/4/2017), harga bijih besi untuk kontrak September 2017 di bursa Dalian menurun 1,66% atau 8 poin menjadi 474 yuan (US$68,82) per ton, atau level terendah sejak November 2016. Angka ini juga menunjukkan pelemahan 6,88% sepanjang tahun berjalan.
Tahun lalu, harga bijh besi melonjak 84,18% year on year (yoy) menjadi 652 yuan (US$93,95) per ton karena dukungan stimulus pemeirntah China terhadap produksi baja yang menaikkan sisi konsumsi.
China menyerap sepertiga suplai bijih besi global dan memasok sekitar 50% baja di dunia, sehingga kinerjanya sangat berpengaruh terhadap pasar komoditas tersebut.
Dalam laporannya, Citigroup Inc., menyampaikan pasar bijih besi mengalami periode bearish akibat kekhawatiran jumlah pasokan yang tidak seimbang dengan permintaan. Surplus bijih besi global pada 2016 diperkirakan mencapai 70 juta ton dan berpeluang bertambah menjadi 90 juta ton pada tahun ini.
Berlebihnya suplai berasal dari sejumlah negara produsen utama seperti Brasil, Australia, China, dan India. Oleh karena itu, tren harga diperkirakan terus merosot sampai akhir tahun ayam api.
"Kami mempertahankan outlook bearish terhadap bijih besi, terutama pada paruh kedua 2017 karena melambatnya permintaan baja China," papar riset yang dikutip dari Bloomberg, Rabu (19/4/2017).
Citigroup memprediksi harga akan jatuh ke area US$60 per ton pada kuartal terakhir 2017. Tren penurunan diperkirakan berlanjut sampai pengujung 2018 ke posisi US$50-an per ton.
Dalam riset berbeda, analis Maike Futures Co., Ren Jiaojiao dan Dang Man mengatakan meningkatnya perekonomian China belum mengonfirmasi adanya peningkatan permintaan. Data pertumbuhan domestik bruto (PDB) China pada kuartal I/2017 naik ke posisi 6,9%, atau level tertinggi sejak kuartal III/2015.
"Data ekonomi China yang dirilis awal pekan ini tidak cukup membantu menopang sentimen harga bijih besi," paparnya.
Biasanya, bulan April merupakan periode puncak konsumsi bahan logam dasar seiring dengan meningkatnya aktivitas manufaktur. Namun, permintaan untuk bahan baku baja ini lebih lemah dari ekspektasi pasar.