Bisnis.com, JAKARTA--Harga bijih besi diperkirakan mengalami tren menurun akibat meningkatnya pasokan dan lesunya permintaan.
Pada penutupan perdagangan Jumat (31/3/2017) harga bijih besi untuk kontrak September 2017 di bursa Dalian menurun 2,11% atau 12 poin menjadi 556 yuan (US$80,84) per ton. Ini menunjukkan peningkatan 9,23% sepanjang tahun berjalan.
Tahun lalu, harga bijh besi melonjak 84,18% year on year (yoy) menjadi 652 yuan (US$93,95) per ton karena dukungan stimulus pemeirntah China terhadap produksi baja yang menaikkan sisi konsumsi.
Negeri Panda menyerap sepertiga suplai bijih besi global dan memasok sekitar 50% baja di dunia, sehingga kinerjanya sangat berpengaruh terhadap pasar komoditas tersebut.
Survei Thomson Reuters Supply Chain and Commodity Forecasts menyebutkan, impor bijih besi China pada kuartal I/2017 mengalami penguatan seiring dengan tingginya prospek pengembangan infrastruktur. Namun, demikian peningkatan permintaan tersebut tidak mencerminkan tren sepanjang tahun ayam api.
Negeri Panda diperkirakan mengimpor 90,3 juta ton bijih besi pada Maret. Bila data resmi dari Bea Cukai pada pekan depan menunjukkan hal serupa, ini menjadi bulan kelima impor bahan baku baja tersebut melampaui 90 juta ton.
Menurut Reuters, tingginya permintaan China berkaitan erat dengan prospek pengembangan infrastruktur di dalam negeri. Namun, pergerakan harga ke depan akan mengalami perlambatan seiring dengan meningkatnya persediaan.
"Sebagian besar penyebab kenaikan harga tidak berlanjut ialah tingginya persediaan bijih besi di pelabuhan China," papar survei, Senin (3/4/2017).
Perusahaan konsultan industri Steelhome menyampaikan stok bijih besi di 46 pelabuhan mencapai rekor tertinggi sepanjang sejarah, yakni 132,5 juta ton pada pekan yang berakhir 31 Maret 2017. Angka tersebut lebih tinggi 65% dari 80,5 juta ton pada Oktober 2015, saat harga bahan baku bijih besi ini memulai reli kuat.
Menurut Reuters, tingginya persediaan akan membuat harga mengalami hambatan. Volume impor juga berkurang karena trader dan pelaku usaha industri baja memiliki stok yang berlebihan.
Li Xinchuang, Presiden China Metallurgical Industry Planning & Research Institute, menyampaikan melemahnya permintaan baja di China turut menekan angka impor sekaligus harga. Permintaan baja pada 2017 diperkirakan menurun 1,9% yoy menjadi 660 juta ton.
"Kami pikir konsumsi baja China akan menurun selangkah demi selangkah. Inilah situasi saat ini, setelah tahun lalu mengalami peningkatan positif," ujarnya.
Turunnya permintaan baja domestik turut mengurangi volume ekspor. Akibatnya, pelaku usaha akan memangkas produksi dari pabriknya, sekaligus mengurangi impor bijih besi.
Pada dua bulan pertama 2017, ekspor baja China turun 25,7% yoy menjadi 13,17 juta ton. Bila volume ini bertahan sampai akhir tahun, maka pengapalan baja ke luar negeri hanya mencapai 80 juta ton, anjlok dari 108,5 juta ton pada 2016.
"Kombinasi dari lesunya prospek permintaan dan tingginya persediaan akan membebani harga bijh besi," tutur Li.
Lyndon Fagan dan Hugh Stackpool, analis JPMorgan Chase & Co., menyampaikan masih adanya pengetatan pasokan membuat rerata harga bijih besi menguat 25% yoy pada 2017 menjadi US$73 per ton. Tahun lalu, rerata harga mencapai US$58,38 per ton berdasarkan perhitungan Bloomberg terhadap data Metal Bulletin Ltd.
Keduanya memperkirakan, jumlah suprlus pasar bijih besi semakin bertumbuh seiring dengan berjalannya waktu. Pada 2016, surplus suplai mencapai 17 juta ton, kemudian menuju 36 juta ton pada 2017, dan 71 juta ton pada 2018.
Dengan perkiraan semakin bertumbuhnya surplus, JP Morgan memandang tren harga pada tahun ini cenderung menurun, meskipun masih lebih baik dibandingkan 2016. Pada kuartal I/2017, rerata harga berada di level US$80 per ton, kemudian berturut-turut menurun menjadi US$75 per ton, US$71 per ton, dan US$66 per ton dalam setiap kuartalnya.
"Saat ini, kondisi pengetatan suplai dan permintaan akan bertahan sampai paruh pertama 2017. Nantinya, harga bijih besi yang melampaui US$80 per ton mendorong sejumlah penambahan produksi," paparnya.