Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Setelah Naik Hampir 60%, Harga Bijih Besi Dirediksi Merosot

Harga bijih besi naik hampir 60% sepanjang periode 2016. Meskipun demikian, harga diprediksi terkoreksi pada triwulan keempat akibat fundamental yang masih rentan.
Seorang pekerja sedang meratakan bijih besi di atas kereta cargo di stasiun kereta Chitradurga, di Karnataka, India./ Reuters-Danish Siddiqui
Seorang pekerja sedang meratakan bijih besi di atas kereta cargo di stasiun kereta Chitradurga, di Karnataka, India./ Reuters-Danish Siddiqui

Bisnis.com, JAKARTA - Harga bijih besi naik hampir 60% sepanjang periode 2016. Meskipun demikian, harga diprediksi terkoreksi pada triwulan keempat akibat fundamental yang masih rentan.

Pada penutupan perdagangan Senin (8/8) harga bijih besi untuk kontrak September 2016 naik 2,16% atau 10,5 poin menjadi 497 yuan (US$74,66) per ton. Angka tersebut menunjukkan sepanjang tahun berjalan harga sudah meningkat sebanyak 59,04%.

Ibrahim, Direktur Utama PT Garuda Berjangka, menuturkan langkah pemerintah China yang memacu perekonomian melalui sektor jasa membuat adanya pemutusan kontrak 500.000 karyawan di sektor batu bara dan bijih besi. Hal ini memicu kenaikan harga kedua komoditas akibat berkurangnya produksi.

Selain itu, sentimen positif datang dari rilis Indeks PMI Manufaktur China Caixin periode Juli yang meningkat ke 50,6 dari Juni sebesar 48,6. Walaupun demikian, indeks PMI Manufaktur China versi pemerintah merosot ke level 49,9, jatuh di bawah ekspektasi 50,1.

"Adanya dua barometer PMI [versi swasta dan pemerintah] yang berbeda menimbulkan kewaspadaan akibat ketidakpastian. Karena ada kemungkinan indeks manufaktur September di bawah 50," tuturnya saat dihubungi Bisnis.com, Senin (8/8/2016)

Secara teknikal pada kuartal III/2016 harga bijih besi berpeluang menembus level US$75-US$76 per ton. Namun harga bakal tersungkur dalam triwulan keempat akibat masih adanya surplus pasokan dan kenaikan suku bunga The Fed.

Dalam triwulan ketiga, perlambatan ekononomi global memicu bank sentral memangkas suku bunga dan menggelontorkan stimulus. Hal tersebut sudah dilakukan oleh Bank of England (BoE) dan Reverse Bank of Australia (RBA) dengan memotong suku bunga acuan sebanyak 25 basis poin.

Tren suku bunga rendah dan penggelontoran stimulus membuat ekonomi lebih bergeliat, sehingga penyerapan komoditas turut meningkat. Di sisi lain, The Fed masih menahan langkah mengerek Fed Fund Rate (FFR) karena situasi yang belum stabil.

Adapun pada kuartal IV/2016, Bank Sentral AS membutuhkan kenaikan FFR untuk menarik likuiditas di bank-bank negara bagian sebesar US$2,5 triliun. Pengerekan suku bunga memicu penguatan dolar yang bakal memukul harga komoditas.

Fundamental bijih besi juga dinilai belum kuat, sehingga rentan terkoreksi faktor makro. Ibrahim menyebutkan, pada akhir 2015 pemerintah China memprediksi stok bahan baku baja itu di dalam negeri surplus hingga tiga tahun ke depan.

Berdasarkan data China Iron & Steel Association (CISA), tahun lalu produksi baja mentah China sudah mulai turun 2,3% menjadi 804 juta ton. Adapun stok di dalam negeri berkisar 1,2 miliar ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Hafiyyan
Editor : Setyardi Widodo

Topik

Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper