Bisnis.com, JAKARTA – Pergerakan harga minyak sawit mentah (CPO) berbalik melemah pada awal perdagangan hari ini, Kamis (23/6/2016), ke level terendah dalam delapan bulan seiring menguatnya kinerja mata uang ringgit Malaysia.
Kontrak berjangka CPO untuk September 2016, kontrak teraktif di Bursa Malaysia, berbalik melemah 0,80% atau 19 poin ke posisi 2.355 ringgit per ton pada pukul 10.10 WIB.
Harga CPO mencapai level terendahnya sejak mencapai posisi 2.353 pada tanggal 26 Oktober 2015. Pagi tadi pergerakan sawit dibuka dengan penguatan 0,17% atau 4 poin ke level 2.378 ringgit per ton.
Seperti dilaporkan sebelumnya, banyak faktor yang menekan pergerakan harga CPO ke level terendahnya.
Sejumlah faktor yang mempengaruhi termasuk aksi risk off (penghindaran risiko) menjelang referendum Inggris, perlambatan permintaan mendekati Idul Fitri, dan penundaan kebijakan penerapan biodiesel oleh pemerintah Malaysia.
Andy Wibowo, Analis Daewoo Securities Research, menuturkan wacana British Exit dimana kecenderungan sentimen mengarah atas keluarnya Inggris dari Uni Eropa beberapa waktu lalu turut menekan komoditas. Pasalnya, mata uang dolar AS mengalami penguatan sehingga mengerem harga minyak dunia dan juga CPO.
"Kami juga belum melihat tanda-tanda positif harga CPO global dalam jangka pendek. Sentimen yang mendominasi ialah aksi risk off [penghindaran risiko]," paparnya dalam publikasi riset, Selasa (21/6).
Stok minyak sawit Malaysia mengalami penurunan selama enam bulan berturut-turut sejak puncaknya 2,9 juta ton pada November 2015 menjadi 1,6 juta ton di Mei 2016. Pemerosotan disebabkan efek El Nino dari tahun sebelumnya.
Sebaliknya, produksi Negeri Jiran di bulan lalu naik ke 1,36 juta ton dibandingkan April 2016 sebesar 1,3 juta ton. Sabah mendominasi tingkat produksi dengan kontribusi 29,3%, dan Serawak menyumbang 19,3%.
Selain itu, pemerintah Malaysia sebelumnya akan menaikkan batas kewajiban biodiesel dari B7 menjadi B10 untuk sektor transportasi dan mulai memperkenalkan B7 untuk sektor industri. Dua kebijakan ini direncanakan efektif berjalan mulai 1 Juni 2016.
Namun, Menteri Industri Perkebunan dan Komoditas Malaysia menyatakan implementasi penuh kebijakan ini baru akan berjalan pada Agustus 2016. Secara tidak langsung sentimen ini memengaruhi harga CPO karena proyeksi sisi permintaan berkurang.
Di sisi lain, pelemahan data ekspor membuat lesu optimisme pasar. Data pada Senin (20/6) menunjukkan eskpor CPO di periode 1-20 Juni 2016 turun 8%-10% dari periode yang sama di bulan sebelumnya, karena pelemahan permintaan khususnya dari negara mayoritas muslim menjelang Idul Fitri.
Secara keseluruhan, Wahyu menyimpulkan harga CPO bakal bergerak di kisaran 2.300-2.500 ringgit per ton dalam jangka menengah. "Selama 2.300 hold. Pergerakan di kisaran 2.400. Pada mid term harga antara 2.300-2.500 per ton," tuturnya kepada Bisnis.
Sementara itu, nilai tukar ringgit menguat 0,45% atau 0,0180 poin ke posisi 4,0173 ringgit per dolar AS pada pukul 10.25 WIB setelah dibuka dengan kenaikan tipis.
Pergerakan Harga CPO Kontrak September 2016
Tanggal | Level | Perubahan |
23/6/2016 (Pk 10.10 WIB) | 2.355 | -0,80% |
21/6/2016 | 2.374 | -1,08% |
20/6/2016 | 2.400 | -2,04% |
17/6/2016 | 2.450 | +1,45% |
16/6/2016 | 2.415 | -1,83% |
Sumber: Bloomberg