Bisnis.com, JAKARTA - Meningkatnya impor bijih besi China pada bulan lalu diprediksi hanya menaikkan sentimen positif terhadap harga dalam waktu dekat. Pasalnya, surplus suplai masih membayangi pasar global.
Kenneth W Hoffman, Bloomberg Intelligence Senior Industry Analyst, dalam laporannya, Kamis (9/6/2016), mengatakan impor bijih besi Cina melonjak 22,5% pada Mei 2016 secara tahunan (yoy).
Pembelian sebanyak 86,8 juta ton ini menjadi level tertinggi sejak Desember 2015 dan menunjukkan peningkatan dalam lima bulan pertama 2016 dari tahun sebelumnya sebesar 9%.
Produsen murah di Australia dan Brazil mendominasi penjualan ke China. Meskipun demikian, rencana pemerintah Negeri Panda memangkas kapasitas pembuatan baja 100 juta ton-150 juta ton dalam 5 tahun ke depan memberikan proyeksi melesunya permintaan dalam jangka panjang.
Pada penutupan perdagangan Kamis (9/6/2016) harga bijih besi untuk kontrak September 2016 turun 1 poin atau 0,27% menjadi 367,5 yuan (US$55,99) per ton. Angka tersebut menunjukkan sepanjang tahun berjalan harga sudah meningkat sebanyak 18,17%.
Citigroup Inc., menyampaikan bahan baku baja tersebut akan menuju level US$48 per ton di kuartal III/2016. Selanjutnya, rerata harga bakal terus melesu di kuartal IV/2016 menuju US$46 per ton, walaupun naik dari prediksi sebelumnya sebesar US$38 per ton.
Secara keseluruhan, sepanjang 2016 harga rata-rata berada di level US$49 per ton dan 2017 terus turun senilai US$42 per ton. Citigroup memerkirakan harga bakal terus merosot ke posisi US$38 per ton sampai 2019, tren sejak tiga tahun terakhir.
Negeri Panda menyerap sepertiga suplai bijih besi global dan memasok 50% suplai baja di dunia, sehingga kinerjanya sangat berpengaruh terhadap pasar komoditas tersebut.