Bisnis.com, JAKARTA - Harga bijih besi anjlok seiring meningkatnya persediaan di pelabuhan China yang mendorong kekhawatiran pasar bahwa volume pasokan global melampaui permintaan.
Pada perdagangan Senin (23/5/2016) harga bijih besi untuk kontrak September 2016 terkoreksi 3,49% atau 13 poin menjadi 359 yuan (US$54,784) per ton.
Angka tersebut menunjukkan betapa sepanjang tahun berjalan harga sudah meningkat sebanyak 15,43%.
Bijih besi mencapai posisi harga terendah pada 14 Januari senilai 289 yuan per ton, dan titik tertinggi di 25 April sejumlah 479 yuan per ton.
Fan Lu, Analyst at Sinosteel Futures Co., menuturkan gejolak harga bijih besi terbilang sangat tinggi sepanjang tahun berjalan.
Pasalnya, investor berusaha memprediksi sinyal-sinyal perbaikan ataupun perlambatan ekonomi China sebagai konsumen terbesar di dunia.
Namun, persediaan stok bijih besi yang melampaui 100 juta ton di pelabuhan Negeri Panda menunjukkan ketidakseimbangan faktor fundamental antara suplai dan permintaan.
Data baru itu langsung menekan harga yang sedang mengalami tren merosot.
“Stok kembali melampaui 100 juta ton yang menunjukkan tekanan segi pasokan meningkat. Produksi baja sudah cukup pulih, sehingga penyerapan bahan baku bijih besi tersendat,” tuturnya seperti dikutip dari Bloomberg, Senin (23/5/2016).
Menurut data Shanghai Steelhome Information Technology Co. persediaan di pelabuhan pada pekan lalu membengkak 1,6% menuju 100,45 juta ton. Artinya, sepanjang tahun berjalan stok sudah meningkat sebanyak 7,9%.
Selain bijih besi, harga bahan baku baja ataupun produk sejenisnya pun terkoreksi. Misalnya rebar atau baja tulangan di bursa Shanghai merosot 6,4% pada Senin (23/5) menuju 1.930 yuan (US$295) per ton.
Zhao Chaoyue, Analyst China Merchants Futures Co., menuturkan meskipun persediaan di pelabuhan China menumpuk, negara eskportir utama seperti Australia dan Brasil tetap menggenjot pengiriman ke luar negeri.
Menurut data Departemen Perindustrian, Inovasi, dan Sciene Australia, stok bijih besi akan bertumbuh karena ekspor Negeri Kanguru dan Brasil bakal mencapai 1,24 miliar ton pada tahun ini, dibandingkan 2015 sejumlah 1,13 miliar ton.
JP Morgan dalam publikasi risetnya menyampaikan produksi baja Negeri Tembok Raksasa yang tergabung dalam China Iron & Steel Association (CISA) naik 1,9% menjadi 655 juta ton per tahun (Million Tons Per Annum/ MTPA).
Hingga akhir 2016 CISA memprediksi total output terkerek 1,7% menuju 846 juta ton per tahun.
Kenaikan produksi baja turut menaikkan permintaan bijih besi.
konsumsi China bakal terus membaik dengan prediksi permintaan hanya menurun 2% pada 2016 menjadi 784 ton, tetapi akan naik kembali pada 2017.
Sejumlah data yang mendorongnya ialah harga properti, tingkat produksi baja, dan Purchasing Managers Index atau PMI.
Hingga akhir tahun harga diprediksi mencapai US$53 per ton, terkoreksi tipis dari 2015 senilai US$56 per ton.