Bisnis.com, JAKARTA -- Sudah setengah tahun berlalu, pergerakan indeks harga saham gabungan di Bursa Efek Indonesia masih terus berfluktuasi. Alih-alih menguat, IHSG justru balik badan belakangan ini. Pada perdagangan kemarin (8/7), pasar saham ditutup turun 0,70% ke level 4.871,57. Jika dihitung sejak awal tahun IHSG sudah melemah 6,8%.
Memasuki paruh kedua tahun ini sejumlah analis mulai memberikan proyeksinya. Di tubuh Asosiasi Analis Emiten Indonesia, target IHSG akhir tahun tidak seragam. Budi Frensidy, pengamat pasar modal dari Universitas Indonesia, memperkirakan indeks akan bertengger di level 5.200, tidak jauh berbeda saat dibuka awal tahun ini. Sementara itu, VP Investment PT Investa Saran Mandiri lebih optimistis. Dia berani mematok IHSG di tingkat 5.600 di akhir 2015.
Adapun Mandiri Sekuritas menargetkan IHSG hingga akhir tahun sekitar 4.500 atau lebih rendah dibandingkan dengan pencapaian akhir tahun lalu di level 5.226. Sebaliknya, UOB Kay Hian menaikkan Indonesia ke weight dari underweightdengan target IHSG akhir tahun ini sebesar 5.200 dipicu oleh stimulus peme-rintah dan realisasi belanja pemerintah yang mulai berdampak pada akhir semester II/2015 atau 2016.
Kubu optimistis dan pesimistis memang punya argumennya masing-masing. Pihak pertama berharap pada proyek-proyek pemerintah yang diyakini mulai dieksekusi paruh kedua tahun ini. Di sisi lain, sejumlah tantangan baik internal maupun eksternal siap menjegal laju IHSG.
Menariknya, pertengahan tahun ini juga bertepatan dengan perombakan jajaran direksi PT Bursa Efek Indonesia. Tito Sulistio menjadi pucuk pimpinan BEI menggantikan Ito Warsito. Di pundak para penjaga gawang pasar modal inilah tuntutan atas kinerja IHSG dibebankan.
Di lingkup internal sejumlah pekerjaan internal harus segera diselesaikan jajaran direksi baru BEI. Salah satunya adalah soal fraksi harga saham. Budi menyarankan otoritas Bursa untuk meninjau ulang peraturan fraksi harga tersebut. Dia juga meminta aturan ini dikembalikan kepada ketentuan sebelumnya.
Seperti diketahui, dalam aturan fraksi saham yang baru BEI hanya membagi tiga kelompok harga. Untuk harga saham kurang dari Rp500 memiliki fraksi Rp 1 dan pergerakan harga maksimal Rp20.
Adapun untuk harga saham Rp500- di bawah Rp5.000 memiliki fraksi harga sebesar Rp5 dan pergerakan harga maksimal Rp100, sedangkan harga saham Rp5.000 ke atas ditetapkan fraksi senilai Rp25 dan pergerakan harga maksimum Rp500.
“Aturan yang sekarang tidak banyak memberi keuntungan karena volume transaksi harian baik secara volume maupun nilai turun," katanya, Rabu (8/7).
Persoalan lain yang menjadi tantangan IHSG dari lingkup internal adalah rencana untuk memperbesar modal kerja bersih disesuaikan (MKBD) perusahaan efek yang saat ini sebesar Rp25 miliar. Jika aturan ini dilaksanakan, diprediksi banyak perusahaan sekuritas yang akan gulung tikar.
“Kemungkinan besar perusahaan sekuritas yang kecil-kecil ini akan jadi target merger dan akuisisi,” ujar Analis PT Investa Saran Mandiri Kiswoyo Adie Joe, Rabu (8/7).
Di sisi lain, tantangan juga datang dari kondisi fundamental perekonomian. Seperti diketahui, pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I/2015 melambat hingga di level 4,7%. Hal ini juga menggambarkan penurunan performa sejumlah perusahaan yang melantai di pasar saham. Daya beli masyarakat yang merosot dituding jadi kambing hitam.
Hambatan yang paling banyak menyita perhatian boleh dibilang terkait dengan depresiasi rupiah. Hans mengatakan investor sebaiknya menghindari saham-saham emiten yang mengandalkan impor. Apalagi fenomena super dolar diprediksi masih bisa berlanjut setidaknya hingga The Fed menaikkan suku bunga acuan.
Faktor lainnya yang juga bisa menjadi hambatan IHSG adalah proyek-proyek infrastruktur pemerintah. Sejumlah pihak meyakini program yang nyaris tak tersentuh di semester I ini siap dieksekusi. Hal ini juga bisa terlihat dari raihan kontrak sejumlah BUMN karya seperti PT Wijaya Karya Tbk., PT PP Tbk., dan PT Adhi Karya Tbk. yang kian membaik.
TANTANGAN GLOBAL
Membaca tren IHSG jelas tidak cukup mengandalkan kondisi dalam negeri. Apa yang terjadi di belahan dunia lain seringkali membuat indeks bergejolak. Menurut Budi, hal ini terjadi karena sekitar 60% investor IHSG merupakan pihak asing.
Bukan kebetulan juga jika tantangan global di sisa tahun ini cukup untuk membuat ketar-ketir. Lupakan sejenak soal rencana penaikan suku bunga The Fed yang sudah menjadi bola panas sejak tahun lalu. Jauh di Eropa, sebuah negara maju bernama Yunani mengalami gagal bayar dan terancam keluar dari zona euro.
Menurut Hans, dampak krisis Yunani terhadap pasar di Indonesia memang tidak akan terlalu besar. Arus perdagangan antara Indonesia dengan Negeri Zeus tersebut terlalu kecil untuk menghebohkan pasar modal. Mengejutkan bisa jadi, tetapi membenamkan IHSG rasanya terlalu jauh.
Jika Yunani boleh saja diabaikan, tidak demikian dengan China. Beberapa hari terakhir indeks Shanghai anjlok tajam. Pada perdagangan kemarin, Shanghai Composite jatuh 5,9% ke level 3.507.
Menurut Hans, tren negatif ini disebabkan oleh harga indeks Shanghai yang memang sudah terlalu mahal. “PER Shanghai itu sudah sampai 50 kali,” ujarnya.
Dengan berbagai tantangan di atas, perdebatan soal target IHSG di akhir tahun memang semakin seru. Bagaimana prediksi Anda? Optimistis bisa menerobos di atas 5.500 atau justru terjerembab di bawah 5.000?