Bisnis.com, JAKARTA—PT Bekasi Fajar Industrial Estate Tbk. (BEST) menargetkan dapat meraup US$105 juta dari penjualan lahan industri pada tahun ini, naik tipis dari hasil penjualan 2013 sebesar US$103,2 juta.
Dandy Findianto, Investor Relations Bekasi Fajar, mengatakan target yang cenderung stabil tersebut ditetapkan karena pihaknya melihat tahun ini bakal bertumbuh konservatif terkait dengan Pemilu. Apalagi penjualan lahan industri kebanyakan dari investor asing yang terpengaruh situasi politik.
“Nilai tersebut berdasarkan rerata harga lahan sebesar US$175 per meter persegi. Adapun, luas lahan yang bakal dijual sekitar 60 hektare,” ujarnya kepada Bisnis, Senin (17/2/2014).
Dia mengungkapkan, target penjualan tahun lalu seluas 70 hektare juga tidak tercapai karena perseroan hanya mampu menjual 60 hektare lahan dengan harga rata-rata US$172 per meter persegi.
“Target tidak tercapai karena beberapa pembeli menunda pembelian terkait fluktuasi kondisi ekonomi tahun lalu,” ungkapnya.
Hingga akhir 2013, perseroan memiliki lahan kosong kotor (gross land bank) seluas 935 hektare. Adapun dari jumlah tersebut, seluas 681 hektare merupakan lahan kosong bersih (net land bank). “Kami juga berencana menambah cadangan lahan sekitar 50 hektare,” kata Dandy.
Berdasarkan rencana tersebut, perseroan mencanangkan dana belanja modal (capital expenditure/capex) sebesar Rp240 miliar. Jumlah tersebut naik sekitar 20% dari belanja modal 2013 senilai Rp200 miliar.
“Untuk lokasi lahan yang bakal kami tambah, masih di sekitar proyek kami di daerah Cibitung, Bekasi, Jawa Barat,” katanya.
Lebih lanjut, Dandy menuturkan, saat ini pihaknya juga masih mempersiapkan pengembangan proyek gudang. Pembangunan gudang tersebut bakal dikerjakan bertahap, dengan investasi hingga Rp5 juta per meter persegi.
“Kami akan bekerja sama dengan pihak asing, Daiwa House Industry Co. Ltd.,” bebernya.
Kiswoyo Adi Joe, analis PT Investa Saran Mandiri mengatakan, target penjualan lahan perseroan yang cenderung flat tersebut bisa dimaklumi. Hal itu karena saat ini ada pergeseran pola ekspansi dari perusahaan yang mencari lahan industri.
“Selain karena situasi ekonomi dan politik, saat ini faktor utama pemilihan lahan industri adalah upah minimum provinsi,” ujarnya.
Menurutnya, saat ini upah minimum di kawasan Jabodetabek semakin dirasa tinggi. Adapun, adanya pengembang yang mulai membangun kawasan industri di luar Jabodetabek, seperti Jawa Tengah, menjadi alternatif baru.
"Upah minimum di Jawa Tengah lebih rendah. Hal itu menjadi incaran para perusahaan dalam membangun kawasan industri," katanya.