Bisnis.com, JAKARTA - Maskapai obligasi korporasi nasional mengalami turbulensi ekstrem sepanjang 2013, ditandai fluktuasi level imbal hasil yang signifikan.
Awal tahun ular dimulai dengan geliat blessing in disguise atau berkah tersembunyi dari kebijakan stimulus moneter tahap ketiga di Amerika Serikat yang berlangsung sejak September 2012.
Kucuran dana dari Federal Reserve ke pasar obligasi Negeri Paman Sam itu mendorong likuiditas ke negara-negara berkembang yang potensial, termasuk Indonesia. Permintaan yang tinggi membawa imbal hasil (yield) obligasi di level rendah.
Sejumlah korporasi pun agresif mencari pendanaan melalui penerbitan surat utang. Tiga bulan pertama dimeriahkan oleh pencatatan obligasi dari 12 perusahaan dengan total emisi mencapai Rp14,92 triliun.
Meski dibayangi isu kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi, penerbitan obligasi semakin semarak pada kuartal kedua yakni mencapai Rp19,62 triliun oleh 16 perusahaan. Beban bunga yang ditanggung korporasi relatif meningkat dibanding awal tahun akibat ekspektasi inflasi jelang kenaikan harga BBM bersubsidi.
Kenaikan harga BBM bersubsidi akhirnya benar-benar menjadi fakta, tepat pada 22 Juni 2013. Hampir seluruh analis memperkirakan gejolak ketidakpastian ekonomi akan berakhir dalam beberapa saat dan pasar obligasi kembali normal.
Tak disangka kejutan datang dari Gubernur The Fed Ben Bernanke yang memberi sinyal akan mengurangi stimulus moneter yang akhirnya lebih dikenal dengan istilah tapering off. Pemangkasan likuiditas diprediksi menghambat aliran dana asing ke Indonesia, seperti yang selama ini terjadi.
Pasar obligasi korporasi nasional muram, perburuan cuan melalui surat utang menyusut pada paruh kedua 2013. Bursa Efek Indonesia (BEI) hanya mencatatkan obligasi sebesar Rp11,9 triliun dari 12 perusahaan pada kuartal ketiga da, Rp12,12 triliun dari 7 perusahaan pada tiga bulan terakhir tahun ini.
Berdasarkan data BEI, total emisi obligasi dan sukuk yang sudah tercatat sepanjang 2013 yakni sebanyak 61 emisi dari 47 emiten senilai Rp58,564 triliun. Jumlah itu jauh lebih rendah dari penerbitan tahun sebelumnya yang mencapai Rp87,15 triliun.
Level imbal hasil obligasi korporasi pun mengalami volatilitas tinggi. Sebagai gambaran, PT Danareksa (Persero) Tbk menetapkan kupon 8,2% untuk surat utang yang memiliki peringkat A bertenor 3 tahun yang terbit Januari 2013.
Beberapa bulan kemudian tepatnya Juli 2013, PT Intiland Development Tbk menetapkan kupon mencapai 9,75% untuk obligasi dengan peringkat utang dan tenor yang sama.
Tingkat imbal hasil terus melesat seiring sentimen negatif ekonomi global dari pemangkasan stimulus moneter AS. Di dalam negeri, defisit neraca perdagangan terus menghantui nilai tukar rupiah terhadap dolar AS.
Risiko nilai tukar atau forex risk menyebabkan permintasn obligasi korporasi oleh investor asing melesu. Performa sejumlah perusahaan juga mengalami tekanan sehingga semakin mendorong level yield bergerak naik.
Analis Obligasi PT Penilai Harga Efek Indonesia (IBPA) Fakhrul Auf menilai penurunan jumlah penerbitan obligasi korporasi tahun ini disebabkan tingginya beban bunga utang yang harus ditanggung korporasi. Sejumlah perusahaan berpikir ulang untuk mencari momentum yang tepat meraih pendanaan dengan beban yang minim.
Kendati demikian, dia memperkirakan kondisi pasar obligasi tahun depan akan relatif normal dibandingkan kondisi tahun ini yang bergejolak tinggi.
Ekonom PT Bahana TCW Investment Management Budi Hikmat menyarankan korporasi untuk mengambil peluang pelemahan rupiah dengan menerbitkan obligasi global di pasar internasional. Menurut dia, dengan kondisi deoresiasi rupiah hingga ke level Rp12.000 dan potensi penguatan di beberapa tahun mendatang, korporasi akan meraup keuntungan dari nilai tukar tersebut atau mencapai forex gain.(lvi)