Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

GULA RAFINASI: Pasokan Berlimpah, Premi Pedagang Melorot

BISNIS.COM, BANGKOK-Premi yang meninggi selama 2 tahun atas gula rafinasi mendorong bahan pemanis itu membalik, akibat Thailand dan Mexico menambah catatan mengiriman pasokan yang hampir dipastikan lebih besar dari konsumsi global.

BISNIS.COM, BANGKOK-Premi yang meninggi selama 2 tahun atas gula rafinasi mendorong bahan pemanis itu membalik, akibat Thailand dan Mexico menambah catatan mengiriman pasokan yang hampir dipastikan lebih besar dari konsumsi global.

Berdasarkan data perusahaan, industri dan pemerintah yang dikompilasi Bloomberg, Selasa (28/5/2013), Brasil yang merupakan eksportir terbesar itu mendorong produksinya hingga mencapai rekor baru.

Pengekspor gula putih terbesar nomor 2 Thailand akan menambah pengiriman hingga 11% pada tahun ini, adapun Meksiko yang berada di peringkat empat akan mengekspor 74% lebih banyak.

Pasokan yang banyak ke pasar itu berarti penurunan biaya bagi pewaralaba seperti Dunkin’ Brands Group Inc. (DNKN), sekaligus penyusutan bagi potensi laba padagang dan pabrik gula rafinasi.

“Saya tidak melihat peluang laba besar atas gula putih dalam jangka pendek,” kata Thaisa Colombo, pedagang gula dan etanol pada H. Commcor DTVM di Sao Paulo, yang memperdagangkan futures di Brasil, AS, dan London.

Hal itu, lanjutnya, karena tanaman di Brasil yang sangat besar, dan pasokan dari Thailand dan Meksiko juga akan menambah surplus.

Seperti diketahui, premi telah meningkat tajam setelah harga gula mencapai angka tertinggi dalam 3 dekade pada 2011.

Sejak saat itu, futures merosot 53%, lebih parah dari gula putih yang turun 44% akibat pasokan yang jauh melampaui permintaan dengan rekor 10 juta ton pada musim ini, naik dari 6,2 juta ton pada tahun lalu, demikian International Sugar Organization.

Perbedaan harga gula putih dan gula mentah, yang naik dari US$50 pada Februari 2011 menjadi US$105 per ton pekan lalu, setelah tahun ini mencapai angka tertinggi US$127, akan menghapus laba tahun ini dan menekan 13% menjadi US$91 per ton pada akhir bulan depan, demikian rata-rata dari estimasi delapan pedagang yang dikompilasi Bloomberg. (mfm)

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News dan WA Channel

Penulis : Fatkhul-nonaktif
Editor : Fatkhul Maskur
Konten Premium

Dapatkan informasi komprehensif di Bisnis.com yang diolah secara mendalam untuk menavigasi bisnis Anda. Silakan login untuk menikmati artikel Konten Premium.

Artikel Terkait

Berita Lainnya

Berita Terbaru

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

# Hot Topic

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Rekomendasi Kami

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Foto

Nyaman tanpa iklan. Langganan BisnisPro

Scan QR Code Bisnis Indonesia e-paper