JAKARTA -- PT Bumi Resources Tbk, produsen batu bara terafiliasi dengan Grup Bakrie, yakin dapat melunasi utang US$3,79 miliar jatuh tempo bervariasi hingga 2017 dengan berbagai opsi.
Corporate Secretary Bumi Resources Dileep Srivastava mengatakan emiten berkode BUMI itu mengkaji sejumlah opsi termasuk penawaran umum terbatas, pencairan investasi, dan penjualan aset non inti.
"Tidak ingin menunggu lagi, kami ingin membayar lebih cepat," ujarnya Rabu (28/11).
Seperi diketahui, emiten ini harus membayar tranche kedua sebesar US$600 juta dari sisa utang US$1,3 miliar yang dipinjamkan oleh China Investment Corporation (CIC) pada tahun depan.
Selain itu, obligasi konversi juga jatuh tempo pada 2014 dan menjadikan pinjaman harus dibayar pada tahun ini US$1,2 miliar.
Dileep mengakui bahwa pinjaman dari CIC adalah yang termahal karena suku bunganya mencapai 12% per tahun. Oleh karena itu, pembayaran pinjaman CIC ini diutamakan.
Namun, terdapat penalti bila pinjaman itu dilunasi lebih awal yaitu suku bunganya menjadi 19%. Akan tetapi konsekuensi itu lebih baik dibandingkan harus menunda tahun selanjutnya.
Dia menjelaskan salah satu cara mendapat dana adalah penjualan aset non inti termasuk kepemilikan di Fajar Bumi Sakti, PT Bumi Resources Minerals Tbk (BRMS), dan Pendopo Energi.
Aset yang dinilai sebagai inti termasuk Kaltim Prima Coal dan Arutmin yang bila dikombinasikan memiliki cadangan batu bara thermal 1,9 miliar, terbesar di Indonesia.
Fajar Bumi diperkirakan memiliki aset batu bara cukup besar meski belum berproduksi. Kepemilikan Bumi di aset tersebut saat ini hanya 50%.
Selain itu, perseroan juga memiliki aset mineral melalui BRMS termasuk tambang tembaga di Gorontalo, Palu dan 18% kepemilikan di tambang emas di Newmont.
Meskipun tengah mengadakan pembicaraan dengan sejumlah calon investor, Bumi belum dapat menutup transaksi di saat kondisi pasar yang kurang bagus.
Terlebih lagi, saham BUMI, BRMS tengah mengalami tekanan seiring dengan harga komoditas yang turun.
"Semua tergantung harga batu bara," katanya.
Oleh sebab itu, perusahaan tetap berupaya untuk meningkatkan pendapatan dari operasional dan menargetkan produksi 100 juta ton selama tahun 2014.
Perusahaan yang 29,2% sahamnya dipegang Bumi Plc di London ini juga berniat menurunkan rasio utang terhadap EBITDA hingga hanya 1x pada 2014.
Selain itu, perseroan memiliki investasi di Recapital yang sempat tertunda pencairannya. Dia pun menjelaskan akan mengkaji semua opsi kecuali kembali membuat pinjaman baru.
"Kami hanya mencari pendanaan yang lebih murah," katanya.
Terkait proposal yang ditawarkan Grup Bakrie kepada direksi Bumi Plc, Dileep enggan menanggapi karena bukan masalah manajemen tetapi urusan pemegang saham.
"Kami sadar ada banyak masalah eksternal yang kami tidak dapat pastikan kebenarannya dan kredibilitasnya. Manajemen berupaya secara maksimal tidak terganggu oleh masalah jangka pendek antara pemegang saham," ujarnya.
Seperti yang diberitakan sebelumnya, Grup Bakrie menawarkan proposal tukar guling saham dan tunai senilai US$1,2 miliar untuk keluar dari Bumi Plc, induk usaha pemegang 23,8% saham Bumi Resources.
Bumi Plc sendiri saat ini masih mengendalikan 29,2% Bumi Resources dan 84,7% saham PT Berau Coal Energy Tbk. Grup Bakrie merupakan bentukan antara BNBR dan Long Haul Holdings yang berbasis di Singapura.
Proposal itu saat ini masih dibahas oleh direksi Bumi Plc dan menunggu hasil audit independen terhadap dugaan penyimpangan keuangan oleh kedua asetnya di Indonesia itu.
Grup Bakrie juga terpaksa harus membubarkan perusahaan patungannya dengan PT Borneo Lumbung Energi and Metal Tbk yang dimiliki Samin Tan terkait proposal tersebut.
Sementara itu, Direksi Independen Bumi Plc telah menerima proposal dari NR Investment, yaitu perusahaan investasi milik Nathaniel Rothschild.
Rothschild adalah pendiri Bumi Plc yang telah mundur dari direksi dan diberitakan telah mengumpulkan US$270 juta terkait proposal itu. (Faa)