Bisnis.com, JAKARTA — Di era di mana dunia tengah berusaha keras melepaskan diri dari ketergantungan terhadap energi tak terbarukan, lonjakan harga batu bara yang melambungkan pundi-pundi korporasi pertambangan adalah sebuah paradoks. Mereka yang bertambah kaya dari batu bara, menjadi kontras disandingkan dengan pakta dunia tentang pemangkasan emisi menuju target netral karbon beberapa dekade mendatang.
Masih segar dalam ingatan ketika lebih dari 40 negara berkomitmen melakukan pengalihan konsumsi bahan bakar pada KTT Iklim COP26 di Glasgow, Inggris, tahun lalu. Indonesia yang merupakan salah satu eksportir terbesar batu bara, termasuk yang berjanji mengetatkan regulasi untuk menjaga sumber daya alam.
Pada saat yang sama, harga batu bara terus merangkak naik didorong pasokan yang mengetat karena kebutuhan yang melonjak tajam.
Namun, penggunaan batu bara sebagai bahan bakar untuk menghidupkan listrik masih terlampau digdaya. Sekitar 35 persen listrik dunia dihidupkan oleh batu bara. Di Indonesia, baurannya masih akan berkisar 60 persen hingga 2025.
Aktivitas ekonomi pascapandemi dan perang di Ukraina telah meningkatkan permintaan batu bara. Terlebih, negara-negara seperti Jepang telah melarang impor bahan bakar dari Rusia, semakin memperketat pasokan dan mendorong harga lebih tinggi.
Shirley Zhang, analis utama untuk pasar batu bara Asia Pasifik di konsultan energi Wood Mackenzie mengatakan isu lingkungan belum mengurangi permintaan batu bara dunia. Bahkan jika konflik Rusia-Ukraina tak terjadi, batu bara masih akan menjadi primadona.