Bisnis.com, JAKARTA -- Usainya berbagai proses terkait Pemilihan Presiden (Pilpres) 2019 diyakini akan memberi sentimen positif terhadap pergerakan pasar saham Indonesia pada semester II/2019.
Dalam keterangan resmi yang diterima Bisnis, Selasa (23/7/2019), Kepala Ekonom dan Makro Ekonomi dan Direktur Strategi Investasi PT Bahana TCW Investment Budi Hikmat optimistis kinerja pasar saham kembali berpeluang menguat. Alasannya, ada beberapa faktor yang bisa mendongkrak pertumbuhan.
Pertama, sentimen positif dari The Fed yang memberi sinyal kuat untuk menurunkan suku bunga pada akhir Juli 2019. Dari segi valuasi, dia menilai bursa saham Indonesia masih lebih murah dibandingkan bursa saham beberapa negara di Asia, sehingga dapat memikat investor asing untuk kembali berinvestasi di Indonesia.
Di samping itu, Bank Indonesia (BI) juga telah menurunkan suku bunga BI 7 Days (Reverse) Repo Rate (7DRRR) sebesar 25 basis poin (bps) menjadi 5,75 persen. Hal ini membuat suku bunga deposito cenderung turun, yang diantisipasi dengan bunga obligasi.
Sementara itu, faktor pendapatan perusahaan masih belum memberi hasil maksimal karena daya beli masyarakat belum membaik. Budi memperkirakan pendapatan korporasi akan berada di kisaran 8-10 persen pada tahun ini.
Dia menyebutkan sejumlah sektor yang dipandang menarik untuk dicermati di tengah membaiknya pasar saham, yakni perbankan, konsumen, dan properti. Sebaliknya, sektor yang harus diwaspadai adalah komoditas, termasuk batu bara dan minyak sawit (CPO), sebagai dampak dari perlambatan ekonomi yang terjadi di China.
Baca Juga
Di sisi lain, rupiah juga mulai menunjukkan penguatan pada pekan lalu. Sepanjang pekan lalu, rupiah menguat 0,49 persen terhadap dolar AS, ke posisi Rp13.930. Mata uang Garuda sekaligus menjadi mata uang terbaik di Asia sepanjang bulan ini, setelah menguat 1 persen terhadap dolar AS.
Meski demikian, Budi menilai rupiah belum menguat secara fundamental tetapi disebabkan masuknya aliran modal asing ke pasar keuangan Indonesia. Capital inflow ini masuk melalui Surat Berharga Negara (SBN) senilai Rp118,1 triliun dan saham sebesar Rp74 triliun.
Dia mencatat kepemilikan investor asing terhadap SBN sudah melampaui Rp1.000 triliun.
Namun, Indonesia juga masih mengalami defisit neraca dagang, yang jumlahnya mencapai US$1,93 miliar sepanjang semester I/2019. Walaupun ada surplus US$200 juta pada Juni 2019, tapi defisit neraca dagang yang terjadi masih merupakan defisit terdalam selama 4 tahun terakhir.
“Tantangan terbesar kita saat ini, adalah penyembuhan defisit neraca berjalan (Current Account Deficit/CAD). Kebijakan moneter dan fiskal saja tak cukup memperbaiki CAD. Hal yang kita tunggu saat ini adalah kabinet pemerintah yang baru untuk memberi solusi dalam memacu produktivitas dan daya saing”, ungkap Budi.
Membengkaknya CAD dipandang turut disebabkan oleh kecenderungan masyarakat Indonesia menggunakan produk impor yang tak berpengaruh terhadap produktivitas lokal.
“Semasa era commodity booming, sektor manufaktur kurang dapat dukungan sedangkan belanja masyarakat untuk barang impor tumbuh pesat. Ketika booming berakhir, belanja barang impor sulit ditekan sedangkan sektor manufaktur sulit menyerap tenaga kerja yang menghasilkan pendapatan untuk rumah tangga," tambahnya.