Bisnis.com, JAKARTA – Setelah Indonesia, kini giliran Malaysia yang akan menggugat Uni Eropa ke Organisasi Perdagangan Dunia (World Trade Organization/WTO) soal rencana penghapusan minyak kelapa sawit (crude palm oil) sebagai bahan bakar.
Malaysia siap menempuh jalur tersebut, jika organisasi antarpemerintahan tersebut melanjutkan rekomendasi dari Komisi Eropa.
Dalam rekomendasi yang diterbitkan Rabu pekan lalu, Komisi Eropa menyimpulkan, budidaya kelapa sawit menghasilkan deforestasi yang berlebihan dan penggunaannya dalam bahan bakar transportasi harus dihapuskan.
Sementara itu, Indonesia sebagai produsen minyak kelapa sawit terbesar di dunia, juga sudah mengancam akan membawa persoalan ini ke WTO.
Dalam pernyatannya, Kementerian Luar Negeri Malaysia menggambarkan rekomendasi dari Komisi Eropa itu sebagai tindakan politik yang diperhitungkan dengan tujuan menghapus ekspor minyak sawit dari pasar UE.
"Hambatan perdagangan yang agresif seperti itu ditujukan untuk kepentingan nasional Malaysia, dan 650.000 petani kecil kami, tidak dapat melewatinya tanpa respon yang kuat," kata kementerian itu seperti dikutip dari Reuters, Minggu (17/3).
Kemenlu Malaysia menyatakan negaranya telah secara konsisten memberikan bukti keberlanjutan minyak sawitnya, menyoroti penerapan standar sertifikasi Minyak Sawit Berkelanjutan Malaysia (MSPO).
“Pemerintah Malaysia tidak menerima bahwa implementasi regulasi [delegated act] dibenarkan atas dasar ilmiah atau lingkungan. Tidak ada penjelasan atau data meyakinkan yang diberikan untuk membenarkan diskriminasi terhadap minyak sawit Malaysia.”
Sejauh ini, kedua negara serumpun tersebut telah berjuang berjuang dengan pemerintah Uni Eropa dan parlemen Uni Eropa atas upaya membatasi ekspor dalam usaha mengatasi deforestasi yang merajalela terkait dengan budidaya kelapa sawit.
Kecaman juga datang dari Menteri Industri Primer Malaysia Teresa Kok terkait rekomendasi Komisi Eropa itu. Teresa telah mendesak komisi itu tidak mengajukan proposoal tersebut ke parlemen.
Usulan peraturan yang didelegasikan melengkapi petunjuk 2018/2019 dari EU Renewable Energy Directive II, yang bertujuan membatasi dan melarang biofuel minyak sawit di UE pada 2030, diperkirakan akan diajukan ke Parlemen Eropa bulan depan.
Menurut Teresa, para ahli kementerian masih di Eropa dan tengah berupaya membenarkan kasus penemuan ilmiah berbasis minyak kelapa sawit ke Komisi Eropa.
“Kami telah mengirim para ahli untuk mempresentasikan argumen mereka dari persepektif sains. Kami ingin berargumen bahwa peraturan [yang diajukan itu] tidak berdasarkan fakta berbasis ilmu pengetahuan,” katanya dikutip dari Bloomberg, Kamis (14/3/2019).
Teresa menilai argumen Komisi Eropa dari aspek metodologi tidak masuk akal secara ilmiah. Metodologi yang digunakan, menurutnya, salah. Menurutnya penting bagi Malaysia untuk membuktikan hal tersebut. Selain itu juga melawan pesan-pesan merugikan yang disampaikan lewat iklan di beredar di negara-negara Eropa tentang sawit.
“Saat ini, ada iklan yang beredar di negara-negara Eropa terhadap perusahaan yang memproduksi produk menggunakan minyak sawit,” ujar Teresa.